Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Jalan Terjal Rektor Warul

Jalan Terjal Rektor Warul

Rabu, 19 Juni 2019 16:03 WIB

Font: Ukuran: - +

Prof Warul Walidin, saat diperiksa sebagai saksi di Gedung KPK. [FOTO: Antara]

DIALEKSIS.COM - Kamis, 12 Juli 2018, momen penting mengharukan yang berlangsung di Aula Gedung Rektorat Kampus UIN Ar-Raniry Banda Aceh. 

Kalung pataka Rektor Prof Farid Wajdi diserahkan kepada Ketua Senat Universitas, Prof Rusjdi Ali. Tanda Farid melepaskan jabatannya sebagai Rektor UIN Ar-Raniry periode 2014-2018. Ketua Senat lalu mengalungkan pataka itu kepada rektor baru, Prof Warul Walidin.

Kegiatan serah terima jabatan tersebut menjadi kenangan tak terlupakan bagi Farid dan Warul. Hampir setahun kemudian, keduanya kembali menghadapi peristiwa bersama-sama.

Pada minggu kedua Juni 2019, tak lama setelah Idul Fitri 1440 H berlalu, Farid dan Warul mendapat ‘salam tempel’ dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Keduanya dimintai keterangan sebagai saksi untuk kasus dugaan suap jual beli jabatan atau seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi pada Kementerian Agama 2018/2019.

Prof Warul lebih dulu diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, yaitu pada Senin (17/6/2019). Farid menyusul keesokannya, Selasa (18/6/2019). 

Dua PNS di lingkungan Kementerian Agama RI itu memberi keterangan untuk kasus yang menjerat Ketua Umum PPP Muchammad Romahurmuziy alias Romi sebagai tersangka.

Bagi Prof Warul, mendapat ‘salam tempel’ dari KPK bukanlah hari yang indah. Tapi menjadi serangkaian ujian setelah hampir setahun ia menjabat rektor UIN Ar-Raniry.

Warul--Prof Dr Warul Walidin AK MA--dilantik sebagai Rektor UIN Ar-Raniry periode 2018-2022 pada 2 Juli 2018 di Kantor Kemenag, Jakarta, oleh Menteri Agama Lukman Hakim. 

Sejak hari itu, dia menanggalkan jabatan Ketua Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh.

Hasil penelusuran Dialeksis.com, Warul menempuh jalan mulus dalam mencapai karier akademiknya.

Pria kelahiran 1958 ini meraih sarjana pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry pada 1983. Berikutnya dia meraih gelar magister dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1989. Di kampus yang sama, dia menamatkan program doktor tahun 1997. 

Warul sempat menjadi dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry dan dosen Pascasarjana IAIN Ar-Raniry. Sempat pula ia menjabat Dekan Fakultas Tarbiyah di IAIN Ar-Raniry pada 2000-2001. 

Di luar kampus, dia dipercayakan sebagai wakil ketua MPD Aceh tahun 2003-2008, sebelum menjabat ketua untuk periode 2009-2013 dan 2014-2019. 

Pada 5 Februari 2018, Prof Warul mengajukan diri sebagai bakal calon Rektor UIN Ar-Raniry periode 2018-2022. Ia meramaikan bursa pencalonan bersama lima guru besar UIN lainnya. 

Panitia penjaringan calon rektor UIN Ar-Raniry akhirnya memutuskan lima calon rektor untuk mengikuti fit and proper test di Kemenag, Jakarta. 

Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim MA, Prof Dr Misri A Muchsin Le MA, Prof Dr H Warul Walidin AK MA, Prof Dr Syamsul Rijal MA, dan Prof Dr Syahrizal MA, mengikuti uji kelayakan dan kepatutan tersebut, pada Jumat (18/5/2018) di Harris Vertu Hotel Harmoni Jakarta. Prof Dr Jamaluddin Idris M Ed tidak memenuhi syarat untuk lolos ke tahapan ini.

Hasil penilaian Kemenag, Prof Warul Walidin lah yang tepat menduduki tampuk kepemimpinan UIN Ar-Raniry periode 2018-2022, menggantikan Prof Farid Wajdi. 

Profesor kelahiran Simpang Tiga, Pidie, itu dilantik di Gedung Kementerian Agama RI di Jalan Lapangan Benteng Barat Nomor 3-4 Jakarta, Senin (2/7/2018) siang, bersamaan dengan Rektor UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Prof Ahmad Mujahidin.

Penelusuran tim Litbang Dialeksis.com, perjalanan awal Warul memimpin UIN Ar-Raniry tak semanis karier akademiknya. 

Sejumlah perkara mencuat ke publik. Sebulan paska menjabat, Prof Warul merombak total kabinet kerjanya. Semua dekan diganti, kecuali Fakultas Psikologi. Dalam hal ini, ada pihak yang menduga, beberapa pejabat fungsional yang dilantik tidak sesuai dengan visi misi rektor sebelumnya.

Namun Prof Warul punya alasan sendiri. Kepada media lokal dia jelaskan, memang banyak wajah baru dan muda mengisi kabinetnya. Namun dia juga mengangkat pejabat senior yang berpengalaman. 

"Ini sebuah energi yang luar biasa, agar lembaga ini menjadi lebih baik lagi, lebih dinamis dan progresif lagi ke depan," sebutnya seperti dilansir serambinews.com

Dia melakukan perombakan sesuai dengan Statuta UIN Ar-Raniry. "Jabatan wakil rektor, dekan, wakil dekan, direktur pascasarjana, dan unit lainnya dapat mengikuti jabatan rektor," kata mantan rektor Universitas Abulyatama (Unaya) periode 2005-2009 dan 2009-2010 itu.

Sekitar sebulan lalu, Prof Warul, harus mengelus dada. Sebuah ‘surat cinta’ dari rektor Unsyiah ramai dibicarakan warga kampus jantong hate rakyat Aceh. 

Surat dari rektor Unsyiah ditujukan kepada pengelola asrama putri UIN Ar-Raniry untuk segera mengosongkan asrama. Itu surat kedua dari Unsyiah. Surat pertama dilayangkan pada pada 22 Januari 2019. 

Isinya antara lain memberitahukan, di lokasi Gedung Asrama Putri UIN Ar-Raniry sekarang, Unsyiah akan bangun gedung percetakan guna melaksanakan Badan Layanan Umum (BLU) Unsyiah.   

Pengelola asrama putri UIN Ar-Raniry diminta bersiap-siap jika sewaktu-waktu harus segera kosongkan gedung tersebut. Pengelola juga diminta tak lakukan pengembangan atau pemeliharaan apapun terhadap bangunan asrama. 

Sontak saja. Isu yang dihembuskan di media sosial menjadi viral. Sebagian menilai pihak rektorat membiarkan surat pertama sehingga Unsyiah kirimkan imbauan kedua pada 6 Mei. Tak ada tindakan. 

Baca: Memainkan Langkah Catur di Tanah Kopelma

Saat itu Dialeksis.com sempat meminta tanggapan Prof Warul. Namun Sang Rektor memilih tak berkomentar. 

Kabar mengejutkan kembali merebak minggu ini. KPK panggil sejumlah calon rektor UIN terkait dengan kasus suap pengisian jabatan di Kementerian Agama RI.

Para calon rektor UIN yang diperiksa KPK adalah Ali Mudlofir, Masdar Hilmy, Akh. Muzzaki, Syarif, Wajidi Sayadi, Hermansyah, dan Warul Walidin. Selain Warul, KPK juga memeriksa dua calon rektor UIN Ar-Raniry lainnya, Prof Farid Wajdi dan Prof Syahrizal Abbas.

"Penyidik mendalami keterangan saksi terkait seleksi jabatan di lingkungan kementerian Agama RI yang pernah diikuti oleh para saksi serta mengklarifikasi sejauh mana saksi mengetahui ada atau tidaknya peran tersangka RMY dalam proses seleksi tersebut," kata Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah, Selasa (18/6/2019), kepada wartawan.

Menurut Febri, pemeriksaan terhadap saksi lain dari unsur calon rektor tersebut masih akan terus dilakukan. 

Diketahui, setelah terungkapnya kasus suap jual beli jabatan di Kemenag, KPK juga menerima banyak laporan terkait adanya indikasi korupsi sistem pemilihan rektor perguruan tinggi dibawah Kemenag.

Sementara Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif sebelumnya memberikan pernyataan ke media, KPK sedang menelusuri unsur korupsi tersebut. 

"Jadi memang perlu diklarifikasi lagi, tetapi banyak mendapatkan laporan bahwa sistem pemilihan rektor itu mempunyai potensi-potensi korupsi seperti itu," kata Syarif‎, beberapa waktu lalu.

Mengenai ‘cobaan’ Prof Warul pada masa awal kepemimpinannya, Dialeksis.com sempat menghubungi via WhatsApp, Senin (17/6/2019). Namun sang rektor tak memberikan tanggapan. Hanya membaca pesan.

Pemimpin memang orang paling bertanggung jawab. Setiap persoalan menimpa, leader mendapat sorotan publik. 

Antropolog Aceh Reza Idria melihat pemanggilan Rektor UIN Ar-Raniry Prof Warul, secara sosial, memang sebuah ‘cobaan’ bagi sang rektor dalam kepemimpinan awalnya.

"Kalau kita melihat tanggapan masyarakat juga begitu, ‘oma ka dipeulet lee KPK’ (waduh, sudah diburu KPK_red). Karena setiap berurusan dengan KPK ini kan, sepertinya ada sesuatu yang negatif," kata Reza Idria kepada Dialeksis.com, Selasa (18/6/2019).

Menurutnya, masyarakat punya pandangan seperti itu, karena KPK sebagai lembaga tinggi negara yang menangani persoalan hukum tindak pidana korupsi, tentu memiliki hak memanggil siapa saja yang kira-kira menunjang kinerja mereka dalam membuktikan kasus hukum yang sedang ditangani. Karena KPK, katanya, sedang melakukan pembuktian terbalik untuk kasus Romi.

Jika ada penilaian negatif masyarakat terhadap pemanggilan Rektor Warul sebagai saksi dari kasus Romi, menurut alumni Harvard University itu, juga karna soal timing pengangkatan sang rektor. 

"Istilahnya pengangkatan rektor yang agak-agak dekat dengan kasus penangkapan OTT Romi." 

Dia melihat, ‘salam tempel’ dari KPK itu tidak hanya eksklusif dikirim ke UIN Ar Raniry, tapi juga untuk UIN-UIN dan kepala Kemenag yang angkatannya pada masa itu, akan dipanggil sebagai saksi.

Dia menyebut, dari UIN Ar-Raniry sendiri tidak hanya Prof Warul yang diundang. Ada juga bekas rektor Prof Farid Wajdi, kemudian juga Prof Samsul Rizal dan beberapa yang lain. 

Baca: Bukan Hanya Saya yang Dipanggil KPK

Kalau kita melihat kondisinya dari sudut pandang masyarakat, Reza menuturkan: "Memang di satu sisi ini mengejutkan masyarakat. Maksudnya kalau memang lembaga pendidikan sudah berurusan dengan KPK, orang-orang akan bertanya lembaga apalagi atau institusi apalagi yang bisa menjadi oase bagi masyarakat?"

Nasir Djamil, alumni Fakultas Dakwah UIN Ar-Raniry, melihat pemanggilan Warul oleh KPK sebagai saksi dalam kasus Romi itu hal biasa. 

"Mungkin ada informasi-informasi terkait dengan penetapan rektor atau pemilihan rektor. Dan tentu saja informasi-informasi ini harus didalami oleh KPK, apa betul, kan begitu," katanya saat dihubungi Dialeksis.com, Selasa (18/6/2019). 

Seorang saksi memenuhi panggilan institusi penegak hukum itu bagian dari cara kita bernegara. Jadi menurutnya, tidak masalah Rektor Warul dipanggil sebagai saksi. 

"Yang musibah, kalau ia menjadi tersangka," ucap anggota DPR RI itu. 

Persoalan sengketa tanah asrama putri yang mencuat di awal kepemimpinan Prof Warul, juga dikomentari Nasir Djamil. 

Ia melihat, hal itu lebih pada bagaimana komunikasi pihak UIN Ar-Raniry dengan Unsyiah. 

"Saya pikir ini bukan soal UIN dan Unsyiah, ini soal Aceh karena Darussalam itu jantung hati rakyat Aceh," bebernya.

Perkara asrama putri itu menyangkut dengan Aceh secara keseluruhan. Tak bisa disebut Prof Warul lalai atau tidak peduli. 

Justru dia menekankan, ketika kasus ini mencuat, Pemerintah Aceh harus mengambil peran untuk mendudukkan persoalan sehingga menghasilkan kesepahaman bersama soal posisi asrama putri itu sendiri. 

"Karena rektor itu tugasnya ke luar (eksternal kampus_red). Tugas rektor kan membangun kerjasama dengan pihak-pihak luar meskipun ada pembantu rektor bidang kerjasama dengan pihak-pihak atau dengan hubungan kelembagaan," katanya.

Dia menegaskan, polemik Unsyiah yang mengklaim tanah asrama putri itu, masyarakat tidak harus menunjuk hidung Prof Warul. Pemerintah Aceh harus mengambil inisiatif. 

Selain itu, Nasir mengharapkan Prof Warul Walidin yang hampir setahun menakhodai UIN Ar-Raniry, tidak boleh menggunakan manajemen bumi hangus. Rektor dan para jajarannya, harus bisa merangkul bukan memukul. 

"Jadi tugas Pak Warul itu mempersatukan seluruh komponen yang ada dalam lingkungan UIN Ar- Raniry, sehingga kemudian seiring sejalan jadi tidak ada kubu-kubuan. Pemilihan sudah berlangsung lama, pemimpin sudah berjalan hampir setahun, maka adalah bagaimana senantiasa melakukan konsolidasi ke dalam," pungkasnya.

Sebagai warga negara yang baik, Prof Farid dan Prof Warul telah memenuhi panggilan KPK sebagai saksi untuk kasus Romi. Warga kampus berharap keduanya kembali dengan status yang sama. (Makmur Emnur/Ikbal Fanika)

Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda