Beranda / Kolom / Diskursus Kemiskinan di Aceh

Diskursus Kemiskinan di Aceh

Kamis, 06 Januari 2022 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Meskipun tingkat kemiskinan di Aceh, menurut Jubir Pemerintah Aceh, MTA, turun 0, 10 poin (2020 ke 2021), maka ada sejumlah pertanyaan yang bisa diajukan. Pertama, apakah penurunan itu signifikan? Apakah angka itu sudah bisa dianggap sebagai tren yang positif?

Lalu, kebijakan apa atau agenda pembangunan apa yang menyebabkan terjadinya penurunan tingkat kemiskinan itu? Atau, penurunan tingkat kemiskinan itu terjadi secara insidental.

Ada fenomena di satu pihak, bahwa tingkat kemiskinan di pedesaan (2020) 17,96% turun menjadi 17,78% (2021), tetapi di lain pihak, tingkat kemiskinan di perkotaan naik dari 10,31% (2020) menjadi 10,46% (2021).

Apakah angka penurunan dan penaikan itu menjelaskan adanya migrasi mereka yang miskin dari wilayah pedesaan ke perkotaan?

BPS mengatakan bahwa penurunan persentase itu dari 15,43% menjadi 15,33%, sebagaimana yang dirujuk Jubir MTA. Namun, kata BPS angka absolut atau jumlah mereka yang miskin meningkat dari 833,91 ribu jiwa menjadi 834,24 ribu jiwa, atau mengalami pertambahan 330 jiwa.

Jika kita mempertimbangkan apa yang disampaikan oleh Kepala BPS Aceh, Ihsanurijal bahwa terjadi pergeseran garis kemiskinan di Aceh, yakni naik 3,22% dari Rp. 524.208 per kapita per bulan menjadi Rp. 541.109 per kapita per bulan.

Hal itu menjelaskan pada kita ada banyak jiwa yang berada di dalam zona kesejahteraan yang subsisten. Artinya, dengan terjadinya kenaikan garis standar kemiskinan di Aceh, maka mereka segera masuk ke dalam katagori miskin.

Pertanyaan pun muncul, apakah penurunan tingkat kemiskinan 0,10 poin, sebagaimana yang dikatan oleh Jubir MTA itu adalah hanya meletakkan mereka berada di dalam zone subsisten atau, di atasnya sehingga mereka aman atau tidak aman terhadap fluktuasi garis kemiskinan (BPS) di Aceh, mau pun perubahan kebijakan Pemerintah Aceh yang tidak pro pada penanggulangan kemiskinan?

Satu contohnya, kebijakan tentang penghentian tenaga kontrak, adalah potensial meningkatkan angka pengangguran, yang kemudian akan meningkatkan angka kemiskinan di Aceh. Contoh lain, kebijakan yang berkenaan dengan penanggulangan Covid-19, yang secara umum justru meningkatkan jurang kaya-miskin, yang mana yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin.

Untuk Aceh, dan katagori secara umum tentang kemiskinan, meskipun belum ada penelitian tentang ini, untuk melanjutkan pendalaman data statistic dari BPS, dapat dibagi ke dalam kemiskinan structural dan kultural. Survei BPS tidak menyentuh sampai ke situ.

Artinya tidak menjawab pertanyaan mengapa orang Aceh bisa miskin: apakah karena adanya kebijakan pembangunan yang tidak berorientasi pada peningkatan kesejahteraan (hal ini menjadi factor utama adanya kemiskinan structural).

Atau, akibat kemiskinan yang menahun, yakni sejak konflik, dan di pasca konflik tidak tersentuh oleh kebijakan pembangunan yang dilaksanakan oleh rezim sehingga mengkonstruksi mental miskin (misalnya: malas), yang sudah masuk dalam katagori kemiskinan kultural.

Jadi bila ada pihak yang meragukan data BPS, maka fenomena kemiskinan bisa menjadi diskursus metodologi (persoalan indikator yang digunakan oleh BPS, atau sebagaimana yang telah dikatakan oleh Raja Masbar bahwa data BPS eror 20%).

Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Provinsi Aceh, Dr. Bustami Abubakar, M.Hum dia tidak percaya Aceh itu masuk provinsi termiskin di Sumatera, hal itu disebutkanya ketika dilangsungkang diskusi “Kilas Balik 2021: Gerakan Kebudayaan di Masa Pandemi” yang disiarkan di kanal YouTube BPNB Aceh.

Sangat menyakitkan bagi orang Aceh karena dijuluki provinsi termiskin di Sumatera. Sekarang kita lihat apa benar demikian? Kita lihat warung kopi penuh. Bustami Abubakar menduga angka ini angka statistik.

Orang Aceh ini misalnya ditawarkan bantuan dan harus membuat surat miskin. Demikian dengan beasiswa bidikmisi di Aceh itu banyak,untuk mendapatkan bantuan pemerintah ini indikatornya masyarakat miskin. Maka tinggilah angka statistik ini ketika diukur.

Makanya Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Provinsi Aceh ini tidak percaya orang Aceh itu miskin. Hampir tidak ada masyarakat Aceh yang busung karena kelaparan.Menarik pernyataan ketua AAI ini. 

Kritikus juga bisa mempersoalkan kebijakan pembangunan, atau persoalan strategi dalam pengentasan kemiskinan di Aceh. Artinya, data BPS lebih menjawab sebab-sebab kemiskinan karena faktor struktural daripada kultural. Hal ini menyebabkan strategi pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan- kalau ada- lebih berorientasi pada cara penyelesaian structural sehingga mereka yang telah berada dalam kondisi kemiskinan kultural tidak tersentuh.

Baiklah, bahwa kemiskinan dekat dengan kekufuran - misalnya meningkatnya angka korupsi oleh lapisan atas masyarakat dan angka kriminal pada lapisan bawah, serta lapisan menengah cenderung terlibat dalam sindikasi illegal- maka Aceh berkembang menjauh dari output yang dikehendaki syariat.

Secara umum jelaslah bahwa rezim tidak menggunakan perspektif maqashid syariah dalam penyusunan rencana, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, sehingga tujuan dan hasilnya tidak mengkonstruksi kemaslahatan bagi semua warga negara yang bermukim di Aceh. Secara sosiologiis situasi di Aceh cenderung berkembang ke arah kehidupan yang anomie. Hal ini berarti secara konstitusional jauh dari maksud NKRI sebagai negara hukum.*

• Penulis adalah sosiolog yang bermukim di Banda Aceh.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda