Beranda / Kolom / Islam dan Sejarah Modifikasi Alat Kelamin di Asia Tenggara

Islam dan Sejarah Modifikasi Alat Kelamin di Asia Tenggara

Jum`at, 13 Oktober 2023 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bisma Yadhi Putra

Relief bola penis yang dibuat pada Abad ke-15 di Candi Sukuh, Jawa Tengah. [Foto: Anthony Reid, "Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jilid 1", 2014.]


DIALEKSIS.COM | Kolom - Pada Abad ke-15 hingga 17, praktik modifikasi alat kelamin laki-laki berlangsung di sejumlah kawasan Asia Tenggara yang belum terjamah Islamisasi. Praktik ini dilakukan dengan memasukkan logam, timah, besi, atau emas ke dalam penis. Tujuan utamanya ialah untuk membuat kaum perempuan bisa mengecap kenikmatan seksual yang lebih tinggi. 

Waktu itu, kaum perempuan memegang kedudukan yang besar dalam urusan seksual. Mereka penguasa di ranjang. Kuasa itu ditunjukkan dengan menuntut laki-laki memiliki penis yang besar, keras, serta bisa mengeluarkan bunyi “cing cing cing” saat percintaan berlangsung.

Untuk memenuhi tiga tuntutan tersebut, para lelaki di wilayah selatan dan tengah Filipina mulai membelah kulit di sekitar kepala penis mereka. Ke dalam kulit itu kemudian dimasukkan beberapa butir bola atau lonceng kecil berbahan logam. Rasa sakit harus ditanggung laki-laki selama proses pasang. Setelah bola-bola logam dipasang mengelilingi penis, bagian kulit yang dibelah tadi ditutupi dengan obat-obatan alami pengering luka.

Bola-bola logam atau yang berbahan emas itu diisi dengan sebutir benda keras berukuran lebih kecil. Saat benda kecil itu terbentur dengan bagian dinding dalam bola, terciptalah bunyi “ting” atau “cing”. Semakin kencang laki-laki bergerak saat bersenggama, semakin keras dan cepat benturan terjadi sehingga semakin besar dentingan terdengar. Penis yang berdencing-dencing merdu menghadirkan sensasi erotis yang sukar dideskripsikan kaum perempuan.

“Ketika laksamana Belanda, Jacob van Neck, bertanya penuh keheranan apa gunanya lonceng-lonceng emas berbunyi merdu itu yang melekat pada penis orang-orang kaya Thai dari Patani, mereka menjawab bahwa kaum wanita mendapatkan kenikmatan yang tak tergambarkan dari situ,” tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jilid 1 (2014). Di samping itu, penis yang telah diisi dengan bola-bola tentu bentuknya jadi lebih besar dan keras sehingga kaum perempuan bisa mengecap kenikmatan seksual yang luar biasa. 

Menurut temuan Anthony Reid, praktik modifikasi penis berkembang pula di wilayah Makassar, Kerajaan Siam (Thailand), Pegu, Borneo, juga Jawa. Malahan di bagian barat laut Borneo (Kalimantan), khususnya di kalangan perempuan suku Iban dan Kayan, penis yang berbola-bola menjadi sebuah standar untuk hubungan seksual. Ada sebuah ejekan: bercinta dengan laki-laki yang penisnya belum dimodifikasi “masih kalah nikmat dari masturbasi”.

Bahan yang dipakai untuk modifikasi penis berbeda-beda di setiap wilayah. Di Makassar, bola-bola yang dimasukkan ke dalam penis berbahan gading atau tulang ikan yang keras dan tidak berlubang. Oleh karenanya, bola-bola tersebut tidak berbunyi. Fungsinya hanya untuk memperkeras dan menambah diameter bagian depan penis.

Sementara itu, di Kerajaan Pegu (Myanmar), raja-rajanya memasukkan bola-bola berbahan emas sebanyak sembilan butir ke dalam penis mereka. Bahan emas ini dipilih untuk menegaskan perbedaan kedudukan mereka dengan orang-orang Pegu yang miskin, yang hanya mampu memakai butir-butir timah hitam. Bukan cuma raja, orang-orang terkemuka di kerajaan serta para hartawan juga memakai bola-bola emas.

Di Kepulauan Visayan dan Mindanao (Filipina), modifikasi penis dilakukan dengan metode yang lebih ekstrem dan menyakiti. Antonio Pigafetta, seorang penjelajah asal Italia, tercengang-cengang begitu mendengar cerita tentang penis yang dipasangi baut. Pigafetta kemudian melihat langsung penis yang sudah dimodifikasi sehingga bisa menggambarkannya dalam kata-kata.

Di dekat ujungnya, penis ditusuk hingga tembus dengan sebuah baut berbahan timah atau emas. Di setiap ujung baut itu kemudian dilekatkan sebuah benda keras menyerupai mur atau kepala paku. Agar pemakainya tetap bisa kencing, bagian tengah baut dilubangi. Pigafetta menyebutkan, para perempuan menolak berhubungan seksual dengan laki-laki yang penisnya dikeraskan dengan pemasangan baut. 

Dengan adanya baut, penis yang masih dalam keadaan keras atau tegang tak bisa dikeluarkan dari dalam vagina. “Begitulah maka penis akan selalu berada di dalam hingga ia kembali lemah, karena selama masih keras si pria tidak akan bisa menariknya keluar,” sebut Pigafetta sebagaimana dikutip Reid.

Saat Islam semakin berpengaruh di Asia Tenggara, praktik modifikasi penis perlahan lenyap di banyak tempat. Setelah para penguasa di Makassar menerima Islam, penggunaan “bola-bola penis” mulai menurun. Demikian halnya dengan di Jawa setelah berlangsung Islamisasi.

Islam bukan satu-satunya agama yang melawan praktik modifikasi penis. Di Kepulauan Visayan, mereka yang masih menggunakan peniti di penisnya dipukuli oleh para petugas beragama Kristen. 

“Islam maupun Kristen melakukan segala upaya untuk melenyapkan kebiasaan ini,” sebut Anthony Reid. Alhasil, kata Reid lagi, “Pada pertengahan abad ke-17, kita tidak lagi mendengar adanya pembedahan erotis di daerah pantai Asia Tenggara yang mudah dicapai”. [**]

Penulis: Bisma Yadhi Putra (Penulis Sejarah)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda