Beranda / Kolom / Pakar dan Pembisik

Pakar dan Pembisik

Minggu, 08 November 2020 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Rupa-rupanya, di setiap zaman politik, berubah pula siapa yang berada di seputaran penguasa, pakar atau kah pembisik.

Di zaman kesultanan Aceh, kita mengenal sejumlah pakar besar-terlepas suka atau tidak. Ada Syamsuddin As-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniry, Abdurrauf al-Singkili dan Saifurrijal. Diskursus yang mereka gelar mengkonstruksi, dan sekaligus mendekonstruksi langit perpolitikan Aceh, sekaligus aqidah publik sehingga terjadi berdarah-darah.

Hal pasti, ada era politik Aceh di mana penguasa berada di dalam suasana diskursus yang digelar oleh para pakar. Dan, Aceh berada dalam masa keemasan.

Namun, Aceh juga pernah berada di dalam era politik di mana para pembisik sangat mempengaruhi kebijakan politik sultan. Pembisik diartikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai “orang yang membisikkan sesuatu kepada orang lain” yang dilakukan “dengan suara perlahan-lahan (seakan hanya mendesis dan tidak nyaring)”…”berdesis dan tidak nyaring.”

Kala itu, setiap pagi buta, para pembisik diam-diam sudah antri untuk menghadap sultan. Kalkulasinya, ia harus orang pertama yang membisikkan sesuatu kepada sultan, sebelum ada elite lain yang mendahului.

Beda dengan logika kolega saya, dia selalu ingin presentasi diantrian terakhir. Karena pikirnya, presentasi terakhirlah yang di satu pihak akan menutup presentasi terdahulu, sekaligus akan mudah menempel di telinga hadirin.

Zaman politik ternyata bisa bergulir antara pakar dan pembisik di seputar penguasa. Di Indonesia, di masa Soeharto, kita pernah mendengar kata teknokrat, yang berperan sangat menentukan bagaimana rezim membangun ekonomi yang stabil, dan politik yang otoritarian.

Kita pun diperkenalkan dengan label politik Mafia Berkeley. Para menteri alumni Berkeley yang mengendalikan kebijakan ekonomi dan keuangan.

Pembayangan saya agak kacau tentang Indonesia. Di satu pihak, bagaimana Soeharto yang bukan lulusan pendidikan tinggi, namun ia membangun sekitaran dirinya manusia-manusia yang lulusan perguruan tinggi ternama di dunia.

Sebaliknya, di lain pihak, bagaimana seorang pemimpin nasional yang merupakan lulusan perguruan tinggi ternama secara nasional, tetapi lebih memilih membangun tembok kekuasaan yang terdiri dari para buzzer dan influencer.

Dalam konteks Aceh kini, bagaimana kondisinya. Apakah yang berada di sekitar penguasa itu para pakar atau pembisik?

Saya mendengar dari seorang rekan yang mengantar tim dari perkantoran sekitar Monas, yang ingin memastikan ketersediaan lahan untuk proyek investasi senilai 8T. Mereka pun dijamu oleh Sang Tuan dengan senang hati. Tapi sang pendamping tak bisa memberikan gambaran di mana kemungkinan lahan seluas 35 ribu hektar itu masih tersedia di Aceh.

Mungkin Nichols hendak berkata dengan bukunya “Matinya Kepakaran”: bahwa demokrasi hanya memberikan tempat bagi pemenang, bukan kepada kepakaran. Pemenang yang professional, itulah yang mendampingi Trump sejak pilpres 2016 lalu. Terus merasuk ke Monas, akhirnya berhenti di sekitar Pinto Khop.

Era politik sedang berputar dari pakar ke pembisik dari politik ke intrik.

Penulis adalah Ketua Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik (PRPRK), Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda