Beranda / Opini / Budaya Ngopi, Berawal dari Ulee Kareng Hingga Jadi Rekreasi Sederhana Warga Banda Aceh

Budaya Ngopi, Berawal dari Ulee Kareng Hingga Jadi Rekreasi Sederhana Warga Banda Aceh

Senin, 16 Oktober 2023 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Jabal Ali Husin Sab


Jabal Ali Husin Sab


DIALEKSIS.COM | Opini - Kopi bagi laki-laki dewasa di Banda Aceh, adalah konsumsi wajib setelah nasi dan lauk-pauk. Kopi telah mempengaruhi kultur ekonomi kita dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin kira-kira sampai 20 persen pengeluaran bulanan dibelanjakan di warung kopi. Namun konsumsi kopi bukanlah jenis penyakit konsumerisme ala kapitalisme yang meresahkan.

Konsumsi kopi yang umumnya adalah warung kopi tradisional berupa kopi saring robusta adalah bagian dari kultur konsumsi ala ekonomi kerakyatan. Mengapa?

Warung kopi tradisional harganya terjangkau. Mencirikan budaya konsumsi masyarakat kebanyakan. Bukan representasi kelas sosial menengah atas. Warung kopi ini membuka banyak lapangan kerja: mulai dari pelayan, barista, penjual rokok, penjual makanan di rak: nasi gurih, mie goreng, martabak, pembuat kue yang menitipkan kuenya untuk dihidang di meja-meja kopi hingga tukang parkir. Satu warkop bisa menyerap sampai 10-15 tenaga kerja atau lebih. Berarti menghidupkan 10-15 dapur rumah tangga. Kurang lebih berdampak bagi 40-60 jiwa warga.

Kopi menjadi ruang publik yang inklusif, menjadi salah satu tumpuan interaksi sosial secara fisik yang lebih intens di era digital yang lebih cenderung pada interaksi jagat maya. Warung kopi menjadi instrumen tersendiri menjaga tradisi komunal di Aceh.

Kopi bagi anak muda kini jadi tempat co-working space yang relatif murah. Bisa akses internet bermodal segelas kopi seharga lima ribu rupiah tanpa batasan waktu.

Warung kopi saring atau robusta mampu bertahan di tengah masifnya perkembangan tren cafe kopi mesin atau yang menyajikan kopi arabica di Banda Aceh.

Stimulus energi yang diberikan kopi menjadi pemacu etos kerja bagi pekerja informal dan pelaku usaha sektor kreatif yang pekerjaannya tidak terikat kantor dan jam kerja. Ini bermakna bahwa warkop tidak selalu identik dengan budaya malas dan santai-santai.

Cukuplah kopi menjadi kemewahan terakhir di tengah kondisi ekonomi yang katanya akan menuju resesi. Hanya dengan ke warkop, menjadi alternatif healing yang relatif jauh lebih murah bagi warga Banda Aceh dibandingkan hiburan dan healingnya warga kota besar.

Namun bicara tentang budaya kopi di warung kopi Banda Aceh, tak terlepas dari Ulee Kareng. Konon, menjamurnya kedai kopi di Banda Aceh asalnya bersumber dari satu. Yaitu warung-warung kopi Yan terdapat di Simpang 7 Ulee Kareng. Warkop yang paling terkenal dan legendaris adalah Solong. Di seberangnya ada Cutnun Kupi. Tak jauh dari sekitar lokasi ini ada warung kopi Panamas dan Cek Wan.

Salah satu praktek nilai kemanusiaan tingkat tinggi tidak kutemui di Amerika Serikat maupun Eropa, melainkan di beberapa warkop Banda Aceh khususnya Solong Ulee Kareng. Bagaimana solong melayani orang gila, bahkan melayani dengan menyediakan kopi dengan gelas khusus berukuran besar, langsung tanpa diminta. Solong yang pasca tsunami dan masa rehab-rekon menjadi warkopnya orang-orang besar dari Jakarta, juga para pekerja kemanusiaan dari luar negeri, tidak membuat mereka lupa diri sehingga mengabaikan pengunjungnya khususnya dengan tingkat kesadaran yang juga khusus. Melayaninya selayaknya manusia. Ini adalah salah satu sisi keindahan masyarakat kita, kerahamahtamahan kepada tamu, kehangatan kepada saudara.

Bicara budaya ngopi di Aceh khususnya Ulee Kareng dan anak-anak didiknya, kita bukan semata bicara semata soal kegiatan ekonomi, bukan semata bisnis. Kita bicara tentang kebudayaan yang salah satu aspeknya adalah kegiatan ekonomi dan juga interaksi sosial yang terbangun.

Ulee Kareng adalah lokasi dimana warung-warung kopi ini berasal. Tetapi pekerjanya, produksi pabrik kopinya hingga produksi kue dan penganan yang dijual di warung-warung kopi di Ulee Kareng berasal dari Lam Ateuk. Sebuah desa yang terletak sekitar satu atau dua kilometer dari simpang 7 Ulee Kareng.

Gudang Kopi di Lam Ateuk

Saya berkesempatan mengunjungi gudang kopi di kawasan Lam Ateuk, Aceh Besar. Mungkin gudang ini menyuplai sekitar 10-20 persen bubuk kopi yang beredar untuk konsumsi kopi di sekitaran Banda Aceh.

Dulunya sebelum dan masa awal setelah tsunami, pemain utama kopi kota Banda Aceh didominasi oleh Solong Kupi dan alumni Solong yang terletak di Ulee Kareng. Sementara mereka para alumni Solong, yang bekerja di Solong dan yang bekerja di warkop-warkop alumni Solong berasal dari Lam Ateuk, Aceh Besar. Namun kini sudah banyak warung-warung kopi yang muncul bukan berasal dari daerah ini.

Warung Kopi Solong punya pegawai adik-beradik yang kemudian membuka cabang warung-warung kopi di Banda Aceh. Si Chek yang artinya si kecil, dulu telah bekerja di Solong saat usianya masih remaja. Kemudian dia diizinkan mendirikan warung kopi sendiri oleh Abu Solong, pemilik Solong. Dengan syarat ia boleh membuka warung kopi di arah seberang sungai Krueng Aceh. Lalu ia memilih lokasi warung kopi yang berdekatan dengan Masjid Raya Baiturrahman. Warung kopi itu ia beri nama Chek Yukee. Menurut pengakuan Bang Chek (begitu saya memanggilnya) Chek Yukee artinya Chik yu ke (orang tua menyuruhku). Bermakna bahwa membuka warung kopi sendiri dan memilih lokasi warkop adalah atas arahan dari Abu Solong, tauke pemilik kopi Solong yang sudah ia anggap seperti keluarga.

Setelah itu Bang Taufik, Abang kandung Chek, membuka warung kopi Taufik Kupi di Jalan Pocut Baren, Peunayong. Bersebelahan dengan Sekolah dan Gereja Methodist. Lokasi Taufik Methodist ini berdekatan dengan pertokoan dan pemukiman masyarakat keturunan Thionghoa. Sampai sejauh ini, nuansa multikulturalisme yang harmonis bisa kita saksikan di sekitaran warkop ini.

Kontribusi Tokoh Lam Ateuk untuk Masyarakatnya

Kawasan Lam Ateuk selain dikenal dengan produksi kopi, juga merupakan daerah pusat pendidikan agama dan pendidikan umum. Untuk pendidikan agama ada Dayah Darul Mu'arif yang dulu dipimpin oleh Abu Mamplam Golek, ulama kharismatik yang juga tokoh Perti di masanya. Untuk pendidikan umum, ada Universitas Abulyatama yang dibangun oleh Rusli Bintang, seorang pengusaha asli Aceh Besar yang kini bisnis pendidikannya menggurita. Ia berhasil membangun Univeritas Malahayati di Lampung dan juga memiliki Rumah Sakit swasta.

Sepanjang jalan Lam Ateuk hingga Ulee Kareng, kita bisa melihat geliat kegiatan ekonomi yang cukup positif. Keberadaan lembaga pendidikan dan industri produksi kopi telah membuka lapangan pekerjaan bagi warga disana.

Beberapa orang yang berasal dari wilayah tertentu, ternyata bisa memainkan peran untuk menumbuhkan geliat ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan.

Kita berharap ada individu-individu kreatif yang mampu bangkit mengembangkan bisnisnya, sembari berkontribusi untuk daerahnya. Yaitu dengan membuka lapangan pekerjaan dan membantu masyarakat yang kurang mampu di sekitarnya.

Konfigurasi sosial di Lam Ateuk menarik untuk dijadikan bahan studi, bagaimana perkembangan sosial-ekonomi masyarakat bisa berkembang melalui peran figur masyarakat di luar institusi. Digerakkan oleh beberapa figur atau tokoh yang terlibat dalam bisnis dan perniagaan, dimana keberadaan mereka memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah dimana mereka berasal.

Penulis: Jabal Ali Husin Sab (Esais, pengamat sosial dan politik, warga Banda Aceh)


Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda