Beranda / Opini / Ironi Nasib Nakes Kita

Ironi Nasib Nakes Kita

Minggu, 24 Juli 2022 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto: Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Analisis - Tenaga Kesehatan (nakes) merupakan kelompok yang paling berjasa di garda depan dalam pemeriksaan dan perawatan pasien terduga maupun terkonfirmasi positif Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Merujuk pada definisi menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Problematika kesejahteraan nakes agaknya masih menjadi momok di republik ini. Bagaimana tidak, ditengah gempuran virus covid 19, nakes tentunya menjadi ujung tombak dalam meredam penyebaran virus terkutuk itu di tubuh manusia. Akan tetapi hingga hari ini, persoalan jerih payah nakes masih belum mendapatkan penghargaan layak dari rumah sakit. Setidaknya kasus kasus insentif tenaga medis yang tak kunjung dibayar terjadi di sejumlah wilayah. Bahkan ada dua tahun menunggak, seperti RSUD Langsa Provinsi Aceh.

Berbicara insentif, pemerintah masih memiliki tunggakan klaim pada rumah sakit untuk tahun anggaran 2021 sebesar Rp 25 triliun. Adapun, klaim yang sudah dibayar pada tahun lalu sebesar Rp 62,68 triliun. Tunggakan klaim ini terjadi karena pemerintah belum memiliki dana cukup.

Pada 2020, Pemerintah menerima klaim hingga Rp 40,6 triliun untuk 686.221 pasien Covid-19. Namun, pemerintah hanya membayarkan Rp 35,11 triliun karena Rp 5,49 triliun lainnya tidak memenuhi kriteria untuk dibayarkan atau sudah kadaluwarsa.

Karena kebutuhan dokter sendiri terbatas, Untuk menangani covid pemerintah pemerintah meminta dukungan dari pihak kampus kedokteran di seluruh Indonesia untuk menerjunkannya mahasiswa peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) alias mahasiswa magang untuk menangani pasien covid. Dalam dunia kedokteran, peserta pendidikan dokter spesialis kerap disebut sebagai residen.

Hingga kini masih terdapat kesimpang siuran soal status dari nakes magang tersebut. Apakah reseiden dianggap pekerja rumah sakit atau mahasiswa dari kampus. Akibatnya kebijakan rumah sakit juga tidak seragam dalam menempatkan hak dan kewajiban dari nakes magang.

Konstruksi Hukum

Peserta pendidikan dokter spesialis dan subspesialis yang menjalani kerja praktik di rumah sakit harus mendapat insentif. Peserta pendidikan dokter spesialis dan subspesialis tidak boleh dianggap hanya sebagai mahasiswa yang menjalani proses pendidikan, tetapi juga sebagai pekerja yang mendukung pelayanan kesehatan di rumah sakit. Undang-undang sudah tegas menyatakan mereka harus mendapat insentif dan mendapat hak untuk istirahat.

Dalam Pasal 31 Undang undang nomor 20 Tahun 2013 tentang pendidikan kedokteran disebutkan

(1) Setiap Mahasiswa berhak:

a. Memperoleh pelindungan hukum dalam mengikuti proses belajar mengajar, baik di Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi maupun di Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran;

b. memperoleh insentif di Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran bagi Mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis; dan

c. memperoleh waktu istirahat sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Kemudian Pasal 25 hurf g Peraturan Pemerintah Nomor 93 tahun 2015 tentang Rumah Sakit Pendidikan, disebutkan : Rumah Sakit Pendidikan memiliki kewajiban memberikan insentif bagi peserta program dokter layanan primer dan spesialis-subspesialis.

Sesuai dengan UU Pendidikan Dokter (UU No 20 tahun 2013), Pendidikan dokter spesialis ini harus University Based. Dari 95 program studi dokter yang ada di Indonesia saat ini, program PPDS hanya ada di 17 Fakultas Kedokteran negeri dengan akreditasi A (yang jadi prasarat FK tersebut bisa memiliki program PPDS), dengan jumlah peserta didik sebanyak sekitar 13.000 orang dokter (MKKI 2020).

Untuk diterima sebagai mahasiswa PPDS, ada proses pendaftaran dan seleksi yang dilakukan oleh universitas pemilik program pendidikan/prodi, biasanya 2 kali dalam setahun. Apabila diterima, peserta didik wajib membayar biaya pendidikan sesuai UKT (uang kuliah tunggal) yang ditetapkan oleh masing-masing universitas yang besarannya saat ini berkisar antara 10-30 juta per semester, selama 7-11 semester tergantung bidang ilmunya. Karena merupakan pendidikan profesi, dalam pelaksanaannya kurang dari 30% yang merupakan pendidikan akademik/ pengayaan ilmu/ perkuliahan, sedangkan 70% sisanya merupakan pendidikan magang/ praktik merawat dan mengobati pasien di RS Pendidikan utama maupun RS jejaring/RS afiliasi di bawah supervisi/ pengawasan para dokter spesialis yang disebut sebagai dokter penanggung jawab pasien atau DPJP.

Meski status para mahasiswa PPDS ini tetap sebagai peserta didik yang wajib membayar uang SPP/ UKT, pada waktu yang sama mereka adalah tenaga kerja ‘gratis’ yang tidak digaji untuk melaksanakan tugas merawat dan mengevaluasi perkembangan pasien selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, sebagai kepanjangan tangan dan di bawah pengawasan para spesialis/DPJP.

Sesuai ketentuan UU, PTN sebagai pemilik program studi PPDS harus memiliki atau bekerjasama dengan RS Pendidikan tipe A yang rata-rata merupakan RS Rujukan nasional di ibu kota Provinsi. Jadi semua lahan pendidikan untuk PPDS tersebut merupakan RS besar dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 600-1000 bed, yang sebagian besar pelaksanaan pelayanan rawat jalan maupun rawat inapnya dikelola langsung oleh para mahasiswa PPDS dengan supervisi DPJP. Karena statusnya yang bukan tenaga kerja/ karyawan RS, para PPDS ini tidak memperoleh gaji maupun jaminan perlindungan terhadap risiko pekerjaan sebagaimana tenaga kerja pada umumnya.

Realitas Fakta

Mahasiswa kedokteran yang bekerja di rumah sakit harus diperjelas soal hak dan kewajiban melalui kesepakatan, tidak hanya berbekal surat tugas. Di lapangan harusnya ada ketentuan tegas soal mengatur hak dan kewajiban residen. Masalahnya memang rumah sakit kemampuan finansialnya tidak sama.

Sejumlah rumah sakit di Indonesia diketahui hingga kini masih belum membayar tunggakan insentif nakes. Sebut saja seperti kasus RSUD Langsa. Diketahui berdasarkan laporan Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Aceh dari RSUD Langsa yang hingga kini belum membayarkan uang insentif tenaga medis Covid-19 rumah sakit Pemko Langsa itu.

Ombudsman sebelumnya sudah mengirim surat permintaan penjelasan atau klarifikasi kepada Direktur RSUD Langsa dengan Nomor: 0008//SRT/0020/BNA-NB/VI/2022 tanggal 13 Juni 2022.

"Dalam surat itu, kita meminta agar Direktur RSUD Langsa menjelaskan apa penyebab sehingga belum membayar hak hak para tenaga medis itu. Bahkan, sudah hampir dua tahun wabah covid melanda dan saat ini sudah berakhir, tapi RSUD Langsa belum membayarkannya. Ini sangat keterlaluan," tegas Plt Kepala Ombudsman Perwakilan Provinsi Aceh, Abyari Siregar, Jumat (1/7/2022).

Pada akhirnya Manajemen RSUD Langsa telah mengklarifikasi surat dari Ombudsman Perwakilan Aceh terkait belum terbayarnya sisa insentif tenaga kesehatan (nakes) covid-19 di rumah sakit tersebut. RSUD Langsa menyebut sisa insentif para nakes coblvid-19 daerah ini akan dibayar dalam waktu dekat melalui APBK tahun 2022 oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Langsa. Untuk usulan pembayaran insentif nakes Covid-19 bulan Agustus hingga Desember 2020 dan bulan April sampai November 2021 telah diusulkan ke Pemko Langsa melalui Dinkes Kota Langsa.

Meski sudah diusulkan, namun adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa insentif nakes di RSUD Langsa telah menunggak hampir dua tahun. Ketika kasus ini menjadi sorotan media disitulah kemudian baru pihak rumah sakit mengusulkan hak pekerja medis tersebut.

Adalagi kasus viral beberapa waktu lalu dimana Seorang dokter dengan status pegawai kontrak di Rumah Sakit (RS) Meuraxa Banda Aceh, Bahrul Anwar dipecat gara-gara mengkritik Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman yang tak kunjung mencairkan dana insentif tenaga kesehatan. Kritikan di media sosial perihal dana insentif tenaga kesehatan tahun 2021 di RS tersebut sudah menunggak hampir satu tahun. Padahal dari peraturan Permenkes terbaru, pembayaran insentif tersebut dibebankan dari anggaran pemerintah daerah.

Pembelajaran Kasus

Meski ditengah kasus miris perihal menunggaknya insentif dokter, terdapat sejumlah kampus yang komit terhadap intensif mahasiswanya seperti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Tercatat berjumlah 2 ribu peserta PPDS yang menerima insentif di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Senin (7/9/2020).

Menkes pada masa itu, Terawan mengatakan pemberian insentif kepada seluruh PPDS di seluruh Indonesia ini telah dianggarkan pemerintah dengan periode pencairan anggaran untuk Maret hingga Agustus 2020 sebesar Rp 1 Triliun sebagai penghargaan terhadap PPDS sekaligus sebagai stimulus ekonomi dan telah disetujui oleh Presiden Jokowi. Insentif yang diterima sebesar Rp. 12,5 juta per bulan. Dana ini dicairkan per enam bulan dengan total Rp.75 juta per mahasiswa.

Solusi

Terdapat sejumlah persoalan perihal penyaluran intensif bagi nakes, khususnya PPDS. Kurangnya sosialisasi dari pihak Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah, dan fasilitas pelayanan kesehatan mengenai petunjuk teknis pemberian insentif tenaga kesehatan dalam penanganan menjadi Covid-19. Adanya asimetris informasi mengenai penghitungan insentif membuat tenaga kesehatan tidak dapat melakukan verifikasi terhadap nominal yang didapatkan, sehingga beberapa tenaga kesehatan bisa mendapatkan jumlah insentif yang tidak konsisten pada pencairan termin berikutnya. Selain itu, tidak berjalannya mekanisme Whistleblowing System membuat para tenaga kesehatan bingung untuk melaporkan perihal insentif penanganan Covid-19.

Berkaca dari realitas tersebut, Perlu adanya satu kerangka kebijakan yang dipayungi dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau instrumen hukum lainnya dalam mekanisme proses penghitungan, penyaluran, dan pertanggungjawaban, dan evaluasi terhadap pengelolaan insentif bagi tenaga kesehatan.

Pemerintah Pusat juga perlu segera merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang mempercepat proses penyaluran insentif bagi tenaga kesehatan.

Selain itu Pusat perlu memaksimalkan penggunaan Whistleblowing System bagi tenaga kesehatan yang belum mendapatkan insentif. Hal ini dapat dijadikan sebagai indikator kinerja Kementerian/Lembaga dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menangani perihal proses pencairan insentif.

Terakhir, Kementerian Kesehatan secara aktif mendorong dan memastikan realisasi insentif kepada tenaga kesehatan berjalan tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat jumlahnya setiap bulannya dengan mencantumkan batas waktu penyaluran. Mekanisme pengusulan insentif, baik di fasilitas layanan kesehatan dan dinas kesehatan, harus terbuka dan dapat diakses oleh tenaga kesehatan untuk memastikan insentif tepat sasaran

Penulis: Ratnalia Indriasari, Direktur Eksekutif Jaringan Survei Inisiatif
Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda