DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Linge, Fauzan Azima, menegaskan bahwa perjuangan Aceh sesungguhnya telah selesai sejak penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Namun, menurutnya, pekerjaan besar yang tersisa saat ini adalah bagaimana rakyat Aceh, terutama generasi muda, mampu memanfaatkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai senjata utama dalam mempertahankan kewenangan daerah.
“Kalau dulu kita menggunakan senjata konvensional, sekarang senjata kita adalah UUPA. Dahsyatnya bisa disetarakan dengan nuklir. Bedanya, dulu senjata diarahkan pada sasaran tertentu, sekarang UUPA seharusnya jadi pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan,” kata Fauzan dalam seminar bertajuk Gagasan Aceh Berdaulat yang digelar Muda Seudang Aceh di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Jumat (19/9).
Dalam forum yang dihadiri akademisi, aktivis, serta generasi muda tersebut, Fauzan menekankan pentingnya pendidikan politik berkelanjutan di Aceh.
Ia mengibaratkan politik Aceh sebagai politik tali warisan, sebuah ikatan emosional dan historis yang diwariskan dari generasi ke generasi sejak perjuangan GAM hingga lahirnya perdamaian.
“Pendidikan politik harus terus berlanjut sehingga generasi muda ini harus memahami. Selain jadi media pembelajaran, forum-forum seperti ini juga menjadi ruang diskusi, saling mengisi, dan membangun kesadaran kolektif,” ujarnya.
Menurut Fauzan, politik Aceh bukan sekadar perebutan kursi kekuasaan, melainkan sebuah mental, semangat persatuan dan ketahanan yang harus dipelihara. Ia mengingatkan agar masyarakat Aceh tidak terjebak dalam fragmentasi politik praktis.
“Jangan saling mengelompok, jangan saling membeli. Yang penting kita saling mengisi, saling mengenakan, supaya politik Aceh bisa benar-benar menjadi kekuatan,” tegasnya.
Meski UUPA lahir sebagai turunan dari MoU Helsinki dan diharapkan menjadi benteng kewenangan Aceh, Fauzan menyayangkan realitas yang terjadi. Menurutnya, UUPA kerap diabaikan, padahal tujuan Aceh melawan Jakarta dulu adalah untuk mendapatkan kedaulatan dan kewenangan penuh.
“Qanun itu pagar kewenangan Aceh. Tapi faktanya, UUPA seperti mati suri. Memperjuangkannya sama beratnya dengan perjuangan bersenjata dulu,” ungkap Fauzan.
Ia juga mengingatkan agar aktivis muda Aceh banyak membaca, mengkaji, dan menganalisis UUPA. Dengan begitu, mereka bisa menemukan dan memperjuangkan kewenangan Aceh yang sesungguhnya, bukan sekadar ikut-ikutan wacana politik praktis.
“Kalau dulu darah dan air mata yang kita bayar, sekarang yang dibutuhkan adalah pikiran, analisis, dan keberanian politik. UUPA harus kita hidupkan, kalau tidak, perjuangan Aceh akan kehilangan makna,” tutup Fauzan