Jum`at, 21 November 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Menguji Akuntabilitas Aceh dalam Pengelolaan Dana Otsus

Menguji Akuntabilitas Aceh dalam Pengelolaan Dana Otsus

Kamis, 20 November 2025 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Tuanku Warul Waliddin, SE., Ak., mahasiswa Magister Akuntansi Sektor Publik. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dua puluh tahun lebih setelah penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005, sejumlah kajian terus bermunculan untuk mengevaluasi dampak kesepakatan damai tersebut terhadap tata kelola pemerintahan di Aceh. 

Salah satu perspektif yang kini mendapat perhatian adalah sudut pandang akuntansi sektor publik yang mengkaji bagaimana pemerintah mengelola, mencatat, dan mempertanggungjawabkan keuangannya secara transparan dan akuntabel.

Hal ini disampaikan oleh Tuanku Warul Waliddin, SE., Ak., mahasiswa Magister Akuntansi Sektor Publik kepada media dialeksis.com, Kamis, 20 November 2025.

Ia menilai bahwa MoU Helsinki bukan sekadar dokumen politik yang mengakhiri konflik, melainkan fondasi utama perubahan struktur fiskal Aceh.

Menurutnya, keberadaan MoU Helsinki yang kemudian melahirkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) telah membentuk sistem tata kelola keuangan daerah yang sangat berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia.

“Dari perspektif akuntansi sektor publik, MoU Helsinki membentuk ulang struktur fiskal Aceh. Kewenangan khusus, dana transfer besar, hingga entitas kelembagaan baru membuat Aceh memiliki sistem akuntansi yang jauh lebih kompleks,” ungkapnya.

Ia menjelaskan bahwa setidaknya ada empat komponen penting yang berubah drastis sejak MoU berlaku, yakni struktur fiskal Aceh, pengelolaan pendapatan dan belanja, mekanisme pelaporan, serta tingkat akuntabilitas publik.

Salah satu perubahan paling monumental adalah hadirnya Dana Otonomi Khusus (Otsus) serta porsi bagi hasil migas (70% untuk Aceh).

Menurutnya, dari sudut akuntansi sektor publik, kedua skema ini termasuk kategori pendapatan transfer khusus, yang wajib dicatat secara terpisah dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA).

“Dana Otsus bukan pendapatan umum yang bisa dibelanjakan sesuka hati. Ia memiliki persyaratan penganggaran, indikator kinerja, dan laporan khusus. Secara akuntansi, transparansi penggunaannya harus jauh lebih ketat dibanding pendapatan daerah lainnya,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa dana sebesar ini adalah peluang sekaligus tantangan. Aceh menerima keistimewaan fiskal, namun di sisi lain, pertanggungjawaban kepada publik dan audit BPK menjadi semakin ketat.

Ia menjelaskan bahwa pasca-MoU, Aceh diwajibkan menerapkan penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting). Sistem ini menuntut setiap kegiatan pemerintah memiliki indikator keberhasilan yang jelas, terukur, dan relevan.

“Banyak SKPA belum memiliki indikator kinerja yang kuat. Program fisik masih lebih dominan dibanding program yang mendorong peningkatan kapasitas masyarakat. Akibatnya, realisasi anggaran belum sepenuhnya mencerminkan peningkatan kualitas pembangunan,” ujarnya.

Ia menilai, tanpa indikator kinerja yang baik, laporan keuangan memang dapat disusun, namun makna akuntabilitas substantif menjadi lemah.

Warul juga menyoroti lahirnya berbagai lembaga baru pasca-UUPA, seperti, Baitul Mal Aceh, Wali Nanggroe,Badan Reintegrasi Aceh dan Partai politik lokal.

Secara akuntansi, lembaga-lembaga ini menjadi entitas pelaporan yang wajib menyusun set lengkap laporan keuangan, yakni, Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Operasional (LO), Laporan Perubahan Ekuitas (LPE), Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (LPSAL) dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).

“Kita bicara tentang struktur akuntansi yang jauh lebih kompleks. Konsolidasi laporan keuangan Pemerintah Aceh menjadi tantangan tersendiri,” jelas Warul.

Meski Aceh menerima dana besar pasca-MoU, Warul menilai bahwa output pembangunan yang dihasilkan masih belum sepadan. Banyaknya proyek infrastruktur tak selalu diikuti dengan dampak ekonomi signifikan.

“Inilah tantangan utama. Dana besar tetapi efektivitas pembangunan belum sebanding. Dari sisi akuntansi sektor publik, ini disebut inefisiensi belanja publik,” tegasnya.

Ia menilai, pemeriksaan BPK selama ini sering menemukan masalah pada efektivitas program, bukan sekadar masalah administrasi keuangan.

Warul menekankan pentingnya memperkuat Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), terutama dalam penggunaan Dana Otsus dan dana transfer lainnya.

“SPIP yang lemah menyebabkan risiko penyimpangan tinggi. Ini bukan hanya persoalan teknis akuntansi, tapi menyangkut kepercayaan publik terhadap pemerintah,” katanya.

Dana Otsus Aceh akan memasuki masa penurunan dan berakhir dalam beberapa tahun ke depan. Menurut Warul, kesiapan pemerintah dalam memperbaiki tata kelola keuangan menjadi sangat penting.

“Aceh harus bertransformasi dari ketergantungan pada Otsus menuju kemandirian fiskal. Dan itu hanya mungkin jika tata kelola keuangannya transparan, efisien, dan berorientasi pada hasil,” tegasnya.

Ia bahwa MoU Helsinki telah mengubah wajah pemerintahan Aceh bukan hanya dari aspek politik, tetapi juga dari sisi akuntansi sektor publik.

“MoU Helsinki adalah fondasi reformasi fiskal Aceh. Ia menciptakan peluang besar bagi kemajuan, tetapi juga menuntut akuntabilitas yang lebih tinggi dari pemerintah,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI