DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Antropolog Aceh, Reza Idria, menegaskan bahwa politik di Aceh tidak boleh kehilangan makna sejatinya, yaitu menjaga keseimbangan dan kemaslahatan bersama.
Ia menilai, perbedaan antara rambang politik lokal dengan partai nasional semakin terlihat, sehingga partai lokal harus mampu menjadi garda yang peka terhadap aspirasi masyarakat.
“Tujuan politik itu adalah untuk menciptakan masyarakat bersama. Memilih partai politik berarti memilih jalan demokrasi, dan ketika sudah memilih jalan itu, maka berdemokrasilah sebaik-baiknya,” kata Reza dalam Seminar Keacehan bertajuk Gagasan Aceh Berdaulat di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Jumat (19/9/2025).
Menurutnya, ajakan-ajakan yang ingin menyingkat proses demokrasi dengan jalan pintas tanpa pemilihan adalah bentuk kebijakan yang tidak bijak.
"Kalau mau shortcut tadi, mau tidak ada pemilihan, saya pikir itu bukan ajakan yang bijak tentang demokrasi. Betul-betul Anda ketika memilih jalan politik itu berarti siap untuk berdemokrasi, jadi berdemokrasilah sebaik-baiknya,” tegasnya.
Reza juga mengingatkan bahwa Aceh tidak bisa memandang dirinya sebagai entitas yang terisolasi. “Kadang-kadang orang Aceh merasa seolah-olah hidup dalam tempurung sendiri. Padahal kita bagian dari dunia. Apapun yang kita lakukan hari ini bisa diketahui dalam hitungan detik oleh orang di belahan dunia lain,” ujarnya.
Menurutnya, keterhubungan global membuat Aceh harus memahami bahwa kedaulatan tidak bisa berdiri sendiri.
“Kedaulatan itu hasil dari rekognisi pihak lain. Tanpa pengakuan pihak lain, tidak ada yang namanya kedaulatan. Karena itu kita harus membina hubungan dengan dunia global,” tambahnya.
Lebih jauh, Reza menyoroti pergeseran cara berpikir generasi muda Aceh yang kini lebih banyak hidup dalam ruang digital. Berdasarkan survei, lebih dari 80 persen anak muda saat ini menghabiskan waktu dan berpikir melalui platform digital. Fenomena itu, menurutnya, melahirkan apa yang disebut sebagai platform society.
“Relasi Aceh dengan dunia digital berimplikasi besar terhadap konsepsi kebudayaan. Narasi politik maupun budaya kini banyak diproduksi melalui institusi pendidikan dan politik, tapi anak muda justru lebih banyak menyerapnya dari ruang digital,” jelasnya.
Reza bercerita tentang pengalamannya meneliti jejak sejarah Aceh di luar negeri. Di Leiden, Belanda, ia menemukan banyak artefak Aceh tersimpan di museum dan perpustakaan.
Pada 2014, saat berkunjung ke Salem, Amerika Serikat, ia juga menemukan jejak hubungan sejarah Aceh dengan kota itu sejak abad ke-17, terutama dalam bidang perdagangan.
“Sejak kecil kita mendengar Aceh kaya budaya, hebat secara sejarah, bahkan memengaruhi Nusantara dan Asia Tenggara. Saya tumbuh dengan narasi itu, dan itu yang membawa saya mencari validasinya,” ungkapnya.
Dalam pandangan Reza, pelibatan generasi muda termasuk perempuan sangat penting dalam menjaga marwah politik dan kebudayaan Aceh. Transformasi partai politik maupun organisasi masyarakat harus membuka ruang setara agar budaya tetap hidup.
“Saya percaya kepada anak muda. Politik harus dikembalikan pada makna sejatinya, yaitu menjaga kemaslahatan masyarakat sekaligus mengembalikan marwah dan kedaulatan kebudayaan Aceh,” katanya.
Reza menekankan bahwa menjaga keistimewaan Aceh tidak bisa hanya dengan menyebutnya istimewa dalam dokumen hukum, melainkan perlu dihidupkan lewat partisipasi masyarakat.
"Kalau masyarakat diam saja sampai barang itu hilang, berarti tidak ada pemahaman bersama kita tentang keistimewaan Aceh,” ujarnya.
Reza memberi contoh bagaimana keterhubungan digital membuat identitas Aceh kini berkelindan dengan budaya global.
"Dua hari lalu saya berada di Singapura, tiba-tiba di TikTok ada orang Aceh bicara gaya Korea. Hal seperti itu terjadi karena platform digital membuka ruang interaksi lintas budaya,” ucapnya.
Menurutnya, fenomena itu tidak perlu ditolak mentah-mentah, tetapi bisa dijadikan sarana untuk memperkuat narasi kebudayaan Aceh.
“Kalau kita bisa membuat konten-konten seperti itu, itu bisa langsung mengekstraksi perhatian publik. Platform digital adalah medium paling cepat untuk menyuarakan identitas kita,” pungkasnya.