Beranda / Berita / Aceh / LSM Perlindungan Anak Sampaikan Penyebab Kasus Pemerkosaan Anak Terus Terjadi di Aceh

LSM Perlindungan Anak Sampaikan Penyebab Kasus Pemerkosaan Anak Terus Terjadi di Aceh

Senin, 01 Februari 2021 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Alfi Nora

Direktur Koalisi Advokasi dan Pemantau Hak Anak (KAPHA) Aceh, Taufik Riswan. [For Dialeksis]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kisah traumatis yang dialami korban pemerkosaan, sebut saja namanya Bunga (11) di Aceh Besar kian memilukan banyak pihak.

Mirisnya, Bunga Diperkosa secara berkali-kali oleh ayah kandung dan paman sendiri yang merupakan adik kandung ayahnya.

Ketika gelar perkara dengar keterangan saksi korban yang digelar di Mahkamah Syari'yah, Jantho, Aceh Besar, Selasa (26/1/2021) sore, korban tak bisa berhadir lantaran masih trauma dengan dengan pelaku kekerasan seksual yang berasal dari dua orang terdekat korban, yakni ayah dan pamannya sendiri.

Karena tak berhadir, kemudian hakim memutuskan untuk memutar video testimoni korban yang sebelumnya direkam oleh petugas kejaksaan.

Direktur Koalisi Advokasi dan Pemantau Hak Anak (KAPHA) Aceh, Taufik Riswan menyampaikan, kasus pemerkosaan, pelecehan seksual terus kian terjadi di Aceh.

"Hal itu disebabkan oleh proses hukum yang masih sangat lemah. Sehingga kasus-kasus ini terus terjadi berulang-ulang, karena tidak memberikan efek jera kepada pelaku," ujar Taufik saat dihubungi Dialeksis.com, Senin (1/2/2021).

Menurut Taufik, motif terkait kasus pemerkosaan terhadap anak, biasanya dilatarbelakangi karena korban ini anak-anak, pelaku menganggap perbuatannya akan aman.

"Biasanya pelaku kekerasan terhadap anak, dianggap anak pasti tidak melawan, anak-anak dapat diancam sehingga kejahatannya itu tidak mudah terungkap," ungkapnya dari hasil temuan saat mengadvokasi salah satu korban pelecehan seksual.

Kemudian, membawa kasus tersebut ke ranah hukum juga tidak mudah, pihak aparat keamanan minta bukti yang cukup, sedangkan kasus kekerasan terhadap anak itu cenderung sulit untuk mencari pembuktian.

Sehingga pelaku banyak terlindungi, dari fakta-fakta kejahatannya, ditambah lagi dengan ancaman sanksi pidana yang tidak cukup tegas, sehingga tidak memberikan efek kepada pelaku.

"Contoh, ada beberapa pelaku bisa bebas atau bisa jadi dapat sanksi yang lemah, hanya dicambuk lalu lepas, ini kan tidak memberikan efek jera yang cukup," kata Taufik.

Taufik juga menjelaskan hukum yang spesifik mengadili pelaku pemerkosaan dan pelecehan terhadap anak itu seharusnya menggunakan Undang-Undang perlindungan anak.

Tindak pidana terkait orangtua yang memperkosa anaknya dapat dijerat dengan Pasal 294 ayat (1) KUHP atau Pasal 287 KUHP.

Kemudian dapat juga dijerat dengan UU Perlindungan Anak. Namun, semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014) dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Perppu 1/2016) sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (UU 17/2016), maka pemerkosa anak (termasuk anak kandungnya) dapat dijerat dengan Pasal 81 ayat (3) Perppu 1/2016 jo. Pasal 76D UU 35/2014:

Pasal 76D UU 35/2014

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 81 Perppu 1/2016:

1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Karena di Aceh sudah berlaku Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat, maka terhadap pelaku Pemerkosaan Anak Kandung (memiliki hubungan mahram) di Aceh dapat dikenakan Pasal 49 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat dengan ancaman 200 bulan penjara.

Hukum spesifik itu seharusnya menggunakan UU perlindungan anak, artinya pilihan-pilihan ancaman pidana di Aceh menggunakan Qanun Jinayat ternyata menjadi celah untuk pembelaan terhadap pelaku, seharusnya Pemerintah Aceh harus mengambil tindakan preventif.

"Saya kira ini penting sekali, karena di UU perlindungan anak yang sangat tegas itu adalah boleh mempublikasi identitas pelaku, sebagai bentuk efek jera, boleh diumumkan itu kalau dilihat di Pasal 81 Perppu 1/2016 itu ada di poin berupa pengumuman identitas pelaku," ucapnya.

Hal itu menjadi bagian dari edukasi ke publik, bahwa si pelaku ini adalah pelaku kejahatan berat karena melakukan pemaksaan, pemerkosaan, atau inses yang dilakukan pada anaknya.

Selain itu perlu partisipasi masyarakat, apalagi Kabupaten Aceh besar sedang mengembangkan daerah yang ramah anak. Hal ini perlu komitmen Kepala Daerah yang serius, pemerintah, karena selama ini terlihat masih sangat lemah.

"Masih sebatas kemauan belum jadi tindakan, harus punya perencanaan yang matang kalau memang Aceh Besar ini ingin dijadikan kota layak anak, maka harus diperhatikan partisipasi masyarakat, dunia usaha, semua pihak itu, bagaimana setiap Kawasan seperti desa, kecamatan betul-betul aman untuk anak bertumbuh kembang dan mendapatkan perlindungan," tutupnya.


Keyword:


Editor :
Fira

riset-JSI
Komentar Anda