Beranda / Analisis / Al-Quran, Transmigrasi, Ancam Keuchik: Strategi Sekber Golkar Aceh dalam Pemilu 1971, 1977, dan 1982 (Bagian 2)

Al-Quran, Transmigrasi, Ancam Keuchik: Strategi Sekber Golkar Aceh dalam Pemilu 1971, 1977, dan 1982 (Bagian 2)

Kamis, 21 Januari 2021 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Penulis: Bisma Yadhi Putra

Pemetaan lapangan tidak dibuat sebatas untuk menghasilkan daftar dan posisi politik ulama. Hal yang lebih penting dari itu adalah terbacanya situasi tempat demi tempat. Di Banda Aceh, penelitian yang dibuat menghasilkan gambaran gampong mana saja yang sudah-belum dan sulit-mudah “dikuasai”. Berdasarkan temuan tersebut dibuatlah tiga kategori gampong: tenang, rawan, gawat.

“Tenang” adalah kategori untuk gampong yang menjelang Pemilu 1971 sudah terdapat tim dengan hasil kerja memuaskan, yang antara lain kondisi itu ditandai dengan adanya dukungan dari tokoh-tokoh karismatik setempat. Kondisi ini akan sangat membantu penambahan kegiatan kampanye di gampong, sekaligus menutup peluang masuknya pengaruh partai politik. Gampong Beurawe termasuk yang dikategorikan “tenang” waktu itu. Menjelang pemilu, di gampong ini setiap hari Jumat, dimulai jam 19.30, diselenggarakan ceramah agama oleh tetua yang pro-Golkar. Malahan pemuda gampong kompak sehingga mudah “diarahkan untuk kepentingan Golkar”.

Sebuah gampong disebut “rawan” antara lain karena ada tokoh dari kelompok lawan yang menetap di situ. Gampong yang sebagian besar warganya merupakan anggota Muhammadiyah juga akan dicap rawan. Tetapi bukan cuma faktor keadaan gampong yang membuat kategori demikian disematkan. Ketika pengurus Golkar di satu gampong belum menunjukkan hasil kerja yang positif karena “kurang bergerak”, gampong tersebut diklasifikasikan rawan pula.

Sementara penyebutan “gawat” karena di gampong yang dimaksud partai politik masih kuat pengaruhnya. Lebih-lebih ternyata “perkembangan Sekber Golkar belum nampak”. Bersebab kuatnya pengaruh Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dan sebagian besar penduduknya adalah orang Muhammadiyah, Gampong Sukaramai (sekarang familiar dengan sebutan Blower) digolongkan gawat. Golkar Aceh membangun kekuatan di gampong-gampong antara lain dengan memberikan bantuan kepada meunasah dan masjid serta para pengurusnya. Di Sukaramai masalahnya “meunasah2 jang ada di perkampungan tersebut imamnja adalah dari Muhammadijah”.

Badan Pengendali Pemilu Sekber Golkar Aceh, yang waktu itu diketuai Mohd. Thaib Siregar, mencatat selain Sukaramai salah satu lainnya yang dikategorikan “gawat” adalah Gampong Bandar Baru. “Golkar tidak dapat berkembang sebagaimana mestinja” karena dua pemimpin wilayah partai Islam, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PI Perti), tinggal di gampong ini.

Penggolongan demikian juga dibuat untuk gampong-gampong di luar Banda Aceh, serta untuk tingkat kecamatan. Status tenang, rawan, gawat pada suatu kecamatan ditetapkan melalui analisis situasi semua gampong di dalam kecamatan tersebut.

Evaluasi sebelum pemilu

Selain sibuk mengurusi keadaan di luar dengan teror, persuasi, dan pemetaan lapangan, Golkar Aceh juga cukup serius memerhatikan segala yang ada di dalam markas. Secara berkala dibuat evaluasi internal, terutama untuk mengantisipasi bagian-bagian organisasi yang kurang campin.

Dari hasil evaluasi menjelang pemilu, diperoleh temuan ada dua komponen organisasi yang bermasalah. Pertama, ada pengurus Golkar di beberapa gampong yang tidak serius bekerja. Ketidakseriusan itu dilihat dari tidak berkembangnya pengaruh Golkar di wilayah kerja mereka, yang antara lain ditandai dengan minimnya kegiatan pembinaan/kampanye serta jumlah simpatisan yang tidak bertambah.

Salah satu yang dinilai demikian adalah para pengurus di Gampong Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman. Ketua Sekber Golkar di situ dinilai sangat lambat dalam bekerja, tidak cekatan, tidak bersungguh-sungguh, tetapi “selalu menanti dan mengharapkan keuntungan”.

Kedua, kelompok mahasiswa. Kokar Aceh menerima keluhan dari masyarakat (tidak disebutkan dari gampong mana) bahwa mahasiswa yang turun ke tempat mereka kurang bisa menarik hati khalayak. Kegiatan-kegiatan mahasiswa di lapangan dinilai membosankan.

Walaupun sempat dinilai demikian, mahasiswa nantinya kembali dilibatkan untuk kerja pemenangan Golkar Aceh. Tetapi dengan catatan: 

“…djangan sampai lagi kedatangan Team Mahasiswa dirasakan oleh Masjarakat Gampong/Desa sebagai mission jang tidak berarti dan bermanfaat bagi masjarakat gampong tersebut, lebih2 lagi kalau kedatangan Team tersebut bersifat membosankan ataupun memberatkan bagi masjarakat. Oleh karena itulah Team Mahasiswa jang mengadakan survey ke desa-desa haruslah … dapat memberi pengaruh jang positif dan rasa simpati mereka kepada mahasiswa, Lembaga Pendidikan Tinggi, dan Pemerintah”.

Supaya kehadiran mahasiswa bisa menciptakan kegembiraan, mereka diminta menggelar atraksi-atraksi seperti pemutaran film dan pertandingan olahraga. Dan pertandingan persahabatan yang hendak digelar harus didahului acara penyerahan bantuan peralatan olahraga kepada pemuda gampong.

Bersamaan dengan kegiatan olahraga, mesti pula ada penyerahan sumbangan pupuk, bibit unggul, sajadah, kitab, buku dalalah, dan kitab tafsir Al-Quran untuk meunasah dan masjid. Semua itu wajib diserahkan “dengan menggunakan bungkus jang bertulisan SUMBANGAN GOLKAR”.

Karena dokumen pedoman kampanye Kokar Aceh itu diklasifikasikan “Sangat Rahasia”, kemungkinan mahasiswa pendukung Golkar Aceh tidak mengetahui mereka dinilai membosankan. Kecuali waktu itu salinannya juga tersebar di kalangan mereka, atau ada yang menyampaikan penilaian miring tersebut langsung tanpa ada yang disembunyi-sembunyikan.

Cara dan hasil melawan partai Islam

Kekhawatiran terhadap kelemahan unsur internal menunjukkan Golkar Aceh sangat menghendaki semua siasat tidak boleh dilakukan dengan setengah-setengah. Persuasi wajib menarik, teror harus mempan. Mengingat tantangan di lapangan cukup berat. Selain karena Pemilu 1971 adalah pemilihan umum pertama yang akan diikuti, orang-orang Golkar Aceh juga menghadapi kenyataan bahwa di kalangan masyarakat “partai politik jang populer adalah Partai Religius (Islam)”.

Untungnya berdasarkan pengamatan di lapangan kebanyakan pendukung partai Islam cuma berstatus simpatisan (bukan anggota formal). Lagian cuma beberapa partai Islam yang memiliki basis massa solid di gampong. Itu pun hanya di beberapa gampong. Situasi demikian memang menurunkan tingkat kekhawatiran, namun usaha menekuk kekuatan/pengaruh lawan yang bawa-bawa nama Islam itu tetap wajib dilakukan secara mantap.

Partai-partai Islam juga dilihat bergantung pada strategi kampanye “datang-menjanjikan”. Tidak ada yang menerapkan “datang-memberikan”. Para ahli strategi Golkar Aceh melihat ini sebagai peluang untuk tampil beda. Agar kepercayaan pendukung lawan beralih, Golkar Aceh disarankan “untuk sementara harus membuktikan sesuatu jang langsung dapat dirasakan manfaatnja oleh masjarakat”.

Penting mencermati “untuk sementara” dalam kalimat usulan tersebut. Frasa itu berasosiasi dengan sesuatu pewaktuan. Dia menghendaki sebuah praktik di mana pemberian bantuan/materi secara langsung kepada warga gampong bukan sebagai program jangka panjang atau berkelanjutan setelah kemenangan diperoleh. Dan di lapangan, praktik demikian betu-betul dilakukan dan mendatangkan keberhasilan.

Golkar menang di Aceh. Di beberapa kecamatan Golkar Aceh bahkan menang 100 persen. Tetapi tak di semua kecamatan begitu. Di Labuhan Haji, Aceh Selatan, dari total 13.063 pemilih tercatat hanya 1.029 orang “jang menusuk tanda gambar Golongan Karya”. Di Pulau Banyak lain lagi ceritanya. Dari 1.326 pemilih hanya 22 orang yang tidak memilih Golkar (“Daftar Djumlah Presentase dan Daftar Djumlah Pemilih jang Terbanjak Menusuk Tanda Gambar Golkar dalam Pemilu Tanggal 3 Djuli 1971 di Daerah Tingkat II Aceh Selatan [384-70], DPKA, AC08-213).

Bisma Yadhi Putra, esais dan peneliti. Tinggal di Banda Aceh.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda