Beranda / Klik Setara / Perempuan Birokrasi dan Cuti Melahirkan, Persoalan yang Belum Selesai!

Perempuan Birokrasi dan Cuti Melahirkan, Persoalan yang Belum Selesai!

Senin, 21 Juni 2021 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Abdullah Abdul Muthaleb
Abdullah Abdul Muthaleb. [Foto: Ist.]

Refleksi atas Surat Edaran “Potong Gaji Cuti Melahirkan” Pegawai Non PNS di Kota Banda Aceh

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akhirnya Wali Kota Banda Aceh, Bapak Aminullah Usman, SE. Ak. MM mencabut Surat Edaran Nomor: 814.1/1351 perihal Mekanisme Pembayaran Jasa Pegawai Non PNS. Pencabutan Surat Edaran yang ditandatangani langsung oleh Sekretaris Derah Kota Banda Aceh pada 19 Mei 2021 itu menarik untuk dicermati. Kabar yang beredar bahwa pada 10 Juni 2021 sang Walikota mencabut kebijakan itu mengingat ada poin yang menyebutkan Pegawai Non PNS (tenaga kontrak) yang cuti sakit dan melahirkan dilakukan pemotongan pembayaran gaji sebesar 25 persen yang dinilai tidak tepat diberlakukan. Pak Amin, panggilan akrab untuk sang Walikota, menegaskan bahwa jika tidak bertugas (maksudnya tidak hadir ke kantor karena sakit dan melahirkan) dipastikan tidak ada pemotongan gaji. Pak Amin secara khusus memanggil pejabat terkait ke pendopo dan memintanya agar lebih teliti mengonsep draft kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kemaslahatan pegawai agar memenuhi prinsip-prinsip kemanusiaan dan prinsip keadilan.

Bagaimana kita merespon keputusan Pak Amin itu? Saya yakin, publik termasuk Anda sebagai pembaca akan memberikan apresiasi kepada Pak Amin, bukan? Jelas, itu layak dialamatkan kepada Pak Amin, sang nakhoda “Kota Gemilang”. Terlepas siapa pun “pembisik” yang memberitahukan dan atau meyakinkan Pak Amin melakukan demikian, keputusan mencabut Surat Edaran itu memang layak disambut gembira, khususnya bagi Pegawai Non PNS perempuan yang selama ini mengabdi di lingkungan Pemerintah Kota Banada Aceh. Meskipun di sisi yang berbeda, situasi ini menunjukkan ada yang tidak beres dengan mekanisme penyusunan kebijakan. “Kok bisa demikian, Surat Edaran terbit yang ditandangani Pak Sekda lalu dibatalkan oleh Pak Wali”, keheranan seperti itu lumrah muncul saat pencabutan ini diberitakan.

Nah, tulisan yang spesifik membahas “cuti melahirkan” ini tidak akan mengupas bagaimana garis koordinasi kebijakan antara sang Walikota dengan Sekda. Sebab di level birokrasi yang lebih tinggi pun, hal serupa juga kerap terjadi. Jadi, sekali lagi tulisan ini bukan bermaksud “memperpanjang masalah” setelah Surat Edaran tersebut dicabut. Namun yang harus menjadi poin kunci di balik peristiwa diterbitkan hingga pencabutan Surat Edaran itu menandakan bahwa ada hal yang belum selesai dengan aspek perspektif keadilan berbasis gender dalam perumusan kebijakan di kota ini! Mengapa terkesan sesat pikir (logical fallacy) itu masih hidup di era saat ini, yang seolah-olah kota ini sudah clear tak lagi bersikap demikian? Atau Benarkah sudah clear atau sebenarnya hal demikian seperti hanya fenomena gunung es saja? Lalu bagaimana sebenarnya negara memberikan haknya kepada Pegawai Non PNS tersebut? Apakah ketika ia harus cuti melahirkan maka otomatis gajinya dapat dipotong sekian persen?

Oleh sebab itu, tanpa mengurangi apresiasi kepada Pak Amin yang telah mencabut SE yang diskriminatif tersebut, penulis ingin mengajak semua kita menarik ulang bagaimana cita-cita membangun Kota Banda Aceh. Apakah relevan dengan visi dan misi Pak Amin dalam memimpin kota ini? Sebaliknya, apakah aspek keadilan dan kesetaraan gender tak ada sama sekali dalam dokumen RPJMD Kota Banda Aceh tahun 2017-2022 yang menjadi patron pembangunan selama lima tahun sejak Pak Wali dilantik pada 7 Juli 2017. Apa pula yang harus dilakukan agar hal demikian tidak lagi terulang di masa mendatang. Penting juga direfleksikan sebagai pembelajaran bagi Pemerintah Daerah lainnya khususnya di Aceh yang selama ini, setuju atun pun tidak, posisi Banda Aceh sering menjadi patron bagi 22 kabupaten/kota lainnya.

Cuti Melahirkan itu Hak!

Pertanyaan kritisnya adalah apakah Pegawai Non PNS alias Tenaga Kontrak itu tidak berhak mendapatkan cuti dan menerima gaji selama cuti melahirkan? Secara sederhana, kita dapat merujuk pada “kitab sucinya” birokrasi yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). UU ASN sebagai bagian dari rezim regulasi baru menganut sistem merit. Dengan sistem merit maka kebijakan dan manajemen ASN didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Tetapi perlu diingat bahwa kebijakan terkait ASN yang pro sistem merit tersebut memiliki asumsi bahwa dengan akses yang setara maka pasti sama hasilnya yang akan setara, sementara ada kondisi ketidakadilan berbasis gender dalam persamaan tersebut. Jika tidak hati-hati, kesannya UU ASN ini benar-benar punya sensitifitas yang baik, padahal yang didorong adalah kompetisi bebas. Ini jelas dapat dilihat pada penjelasan salah satu asas UU ini yakni “asas keadilan dan kesetaraan” bahwa pengaturan penyelenggaraan ASN harus mencerminkan rasa keadilan dan kesamaan untuk memperoleh kesempatan akan fungsi dan peran sebagai Pegawai ASN, yang biasanya ketika asas itu dimunculkan selalu dihubungkan dengan aspek gender.

Berkaitan dengan hak, merujuk Pasal 22 UU ASN disebutkan bahwa Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau populer dengan sebutan “tenaga kontrak” juga mendapatkan sejumlah haknya berupa gaji dan tunjangan, cuti, perlindungan, dan pengembangan kompentensi. Khusus terkait cuti, PPPK sebagai bagian dari ASN juga berhak mendapatkan cuti tersebut yang durasi waktunya secara teknis diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja. Dalam regulasi tersebut, dala Pasal 77 disebutkan bahwa PPPK memiliki sejumlah hak cuti mulai dari cuti tahunan, cuti sakit, cuti melahirkan, dan cuti bersama. Bagaimana dengan penghasilan yang ia terima ketika cuti melahirkan? Dalam Pasal 90 jelas disebutkan jika PPPK yang menjalankan cuti melahirkan tetap menerima penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Birokrasi dan Kesetaraan

Perlu digarisbawahi bahwa bicara gender termasuk dalam konteks birokrasi, bukan hanya bicara tentang perempuan semata. Bukan berarti pula menuntut perempuan untuk menjadi sama dengan lelaki, tetapi bagaimana membangun kebijakan hingga tataran operasionalnya benar-benar mendukung keduanya baik perempuan dan laki-lakii agar mendapat akses, peran, kontrol, dan manfaat yang adil dan setara. Bukankah setiap individu dalam birokrasi, perempuan dan laki-laki memiliki permasalahan, pengalaman, gagasan dan kebutuhan yang berbeda-beda, baik sebagai PNS maupun Peagwai Non PNS?

Birokrasi itu pada dasarnya adalah netral gender. Hal itu tersirat dengan penjelasan Yuliawati dan Widiastuti (2016) menjelaskan bahwa secara etimologi atau tata bahasa, birokrasi berasal dari bahasa Perancis, bureau yang berarti kantor atau meja tulis, dan bahasa Yunani, kratein yang berarti mengatur. Jadi secara harfiah dapat diartikan bahwa birokrasi adalah organisasi yang mengatur persoalan dari meja ke meja sesuai dengan stuktur dan fungsinya dalam sebuah organisasi dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pertanyaannya, siapa pejabat yang dimaksud, lelaki atau perempuan, tidak secara eksplisit disebutkan. Masalah kemudian adalah jika melihat birokrasi di republik ini dapat disebut sebagai peninggalan era kolonial yang penuh dengan diskriminatif.

Persis seperti dikemukaan Setia Yunas dan Huda (2016) bahwa sejarah dan konsep birokrasi Indonesia merupakan sebuah warisan kultur budaya dari masa feodalisme dan masa kolonial yang mana birokrasi cenderung bersifat feodalis patrimonial. Sistem birokrasi semacam ini bukan hanya melahirkan layanan publik yang buruk melainkan juga berpotensi besar melihatkan ketimpangan gender (gender gap) baik untuk internalnya maupun eksternal sebagai konsekuensi atas kebijakan dan pembangunan yang digerakan oleh birokrasi.

Tidak mudah bagi perempuan birokrasi mengembangkan diri sehingga kelak berada pada perfomance dengan jenjang karier terbaik baginya, apalagi bagi perempuan yang posisinya sebatas “Pegawai Non PNS”. Mengapa bisa demikian? Ada beberapa hal yang harus dicermati sehingga kita bisa melihat “perempuan birokrasi” itu secara lebih terang. Pertama, karena statusnya sebagai perempuan, dirinya mengalami tantangan yang jauh lebih berat untuk meraih posisi tertinggi karier birokrasi. Bukan kemudian laki-laki tidak punya tantangan, tetapi tantangan yang dihadapi perempuan itu sifatnya berlapis, persis seperti mengupas kulit bawang. Penyebab utamanya bukan karena kemampuan akademik atau pengalamannya tetapi lebih disebabkan kuatnya budaya patriarki sehingga domain kekuasaan bagi laki-laki menjadi begitu mengakar. Kondisi ini bisa lebih berat lagi apabila perempuan ini sudah menikah dimana suaminya sudah memiliki jabatan yang lebih tinggi atau pun lebih tendah, itu pun jadi hal yang sering dipersoalkan, dihubungkan dengan karir perempuan tersebut.

Kedua, apabila dianalogikan maka posisi laki-laki itu bisa disebut titik (.) sedangkan perempuan itu koma (,) sehingga lumrah posisi laki-laki dalam birokrasi itu, apa pun jabatannya, eselon apa pun yang ia miliki nyaris tidak pernah digugat soal kapasitasnya. Sebaliknya, secerdas apa pun perempuan dengan “jam terbang”nya yang mumpuni, tetap saja akan dipertanyakan; apakah benar-benar akan sangggup? Kalau tiba-tiba ada perempuan menjadi Kepala Dinas yang sebelumnya berpulu-puluh tahun Dinas itu dipimpin oleh laki-laki, maka yang sering muncul adalah kami terima beliau sebagai pimpinan kami asalahkan beliau mampu ini dan mampu itu. Banyak syarat tambahan yang dilekatkan kepada perempuan yang itu tidak pernah dipertanyakan pada laki-laki. Fakta ini menandakan bahwa perempuan masih belum mendapatkkan pengakuan yang adil dan setara dengan laki-laki di dalam biroktasi apalagi ketika sudah bicara soal kepemmpinan. Adanya stereotipe gender yang merugikan perempuan yang seolah tidak memiliki karakter yang kuat dan mumpuni sebagai pemimpin. Perempuan cenderung dianggap ideal untuk urusan administrasi atau sejenisnya.

Ketiga, jangan lupa bahwa dalam situasi apa pun, perempuan baik by design atau tidak, akan selalu berhadapan dengan definisi yang dikontruksiskan secara sosial bahwa perempuan pada saat bersamaan harus juga bertanggungjawab pada urusan domestiknya. Tafsiran agama yang bias gender memperkuat konstruksi tersebut. Padahal urusan domestik tersebut bukan “kodrat” yang mutlak harus dikerjakan oleh perempuan, melainkan bisa bertukar dan berbagi peran bersama pasangannya dalam keluarga. Di sini lain, perempuan juga selalu diingatkan dengan kodrat perempuan berupa menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui yang semua itu dipandang bisa menghambat perempuan dalam menjalankan tugasnya.

Bukankah hal demikian terus dilekatkan dan dipandang sebagai kendala bagi perempuan dalam birokrasi? “Perempuan susah kalau diberikan jabatan tertentu, nanti harus cuti hamil dan melahirkan, bagaimana nasib birokrasi’ merupakan ungkapan yang sering terdengar. Padahal dalam banyak praktik di berbagai negara, cuti melahirkan dalam birokrasi, bahkan bagi pimpinan negara sekali pun, tidak menjadi persoalan. Roda pemerintahan tetap berjalan dengan mekanisme yang sudah diatur. Tantangan kita bukan pada kemampuan adaptasi tetapi lebih pada defisit penghormatan atas sesuatu yang kodrati yang dimiliki perempuan, dan itu bagian dari peradaban seperti melahirkan! Padahal sebagai manusia biasa, kita tak akan ada di dunia tanpa adanya seorang perempuan yang melahirkan kita, bukan?

Perempuan Melahirkan, Lalu Mengapa?

Jika kita mau jujur dan terbuka untuk bertanya pada diri masing-masing, dalam banyak ruang kebijakan publik, begitu mudahnya kebijakan itu lahir menjadi tidak adil bagi perempuan, termasuk kebijakan pemotongan gaji karena cuti melahirkan yang menjadi fokus tulisan ini.

Pertama, meskipun Surat Edaran ini sudah dinyatakan Pak Amin dicabut, tetapi sekali lagi, dengan terbitkan kebijakan demikian menandakan logika para penyusun kebijakan dimaksud belum bebas dari diskriminatif. Di sini yang bekerja bukan akal sehat, tetapi kentalnya patriakhi yang melekat pada dirinya sehingga pemotongan dengan alasan melahirkan itu ditetapkan Salahkah perempuan yang berposisi “tenaga honorer” itu melahirkan, yang melahirkan itu sendiri sudah ditakdirkan Tuhan baginya?

Kedua, birokrasi kita sepertinya memang dibangun dengan mempertahankan adanya jarak antara PNS dengan Pegawai Non PNS. Kentara juga terlihat bagaimana dengan status formal yang berbeda tetapi berjenis kelamin yang sama, menerima perlakukan tetap tidak sama. Perempuan berstatus PNS pasti diperlakukan berbeda dengan perempuan dengan status bukan PNS. Di sinilah pisau analisis interseksionalitas bekerja, meskipun sama-sama perempuan, tetapi hanya Pegawai Non PNS yang dipotong karena sebab cuti melahirkan. Sedangkan bagi PNS Perempuan justeru tidak mendapatkan perlakuan demikian, padahal ia juga perempuan yang bisa melahirkan.

Ketiga, melahirkan masih dianggap tidak produktif sehingga menjadi beban finansial. Inilah yang sering menjadi sesat pikir dalam setiap merumuskan kebijakan di level mana pun. Bukan hanya di birokrasi tetapi dalam banyak organisasi di luar pemerintahan hal demikian juga tak jarang dipraktikkan. Di kepala kita masih kuat sekali bahwa melahirkan itu beban bagi negara, beban bagi organisasi kita, beban bagi Pemerintah! Itulah akar masalahnya demikian sehingga yang dilihat bukan penghormatan atas nama kemanusiaan, tetapi lebih fokus pada berapa belanja daerah yang dihabiskan? Ini memperkuat marginalisasi, memiskinkan perempuan yang notabenenya tidak bisa dihindari banyak perempuan dengan posisi “tenaga kontrak” tersebut memiliki posisi ekonomi yang tidak sekuat PNS.

Kempat, kita sering lupa bahwa melahirkan itu adalah sesuatu yang mulia. Perempuan memang kodratnya yang tidak dimiliki oleh laki-laki mulai dari menstuasi, hamil, melahirkan, hingga menyusui. Itu kondrat perempuan. Meskipun laki-laki sebagai lawan jenisnya tidak memiliki keempat hal tersebut, bukan berarti ia tidak memiliki peran dan tanggungjawab atas peran yang dimiliki perempuan itu. Apalagi jika laki-laki sebagai pengambil kebijakan dalam birokrasi, maka sudah semestinya ia membuat kebijakan yang bukan hanya melindungi hak-hak perempuan selama ia menjalankan tugasnya. Lebih jauh, ia malah harus menjamin peran-peran reproduktif tersebut dapat ia jalankan dengan aman tanpa ada tekanan dari siapa pun, yang pada saat bersamaan ia sedang menjalankan kerja-kerja produktif di birokrasi. Sederhananya, bangunlah birokrasi yang aman dan nyaman bagi perempuan meskipun ia punya peran reproduksi. Bukan sebaliknya, dengan peran reproduksinya (seperti hamil) malah memposisikan dirinya semakin terpinggirkan dalam birokrasi.

Lalu, pasti ada argumen bahwa hal demikian tidak diperlukan karena ketika perempuan masuk dalam kancah birokrasi sudah harus menanggung risikonya. Cuti melahirkan dipandang terlalu “mengistimewakan perempuan”. Bahkan argumen paling liar ketika lahirnya kebijakan yang memperbolehkan laki-laki untuk mengambil cuti saat isterinya melahirkan maka lagi-lagi dipandang miring. Kebijakan itu sudah menjadikan kodratnya perempuan dengan peran reproduksi tersebut sebagai dalih bagi laki-laki untuk tidak bekerja. Logika demikian bisa saja muncul termasuk dari kalangan laki-laki, bahkah dari kalangan perempuan sendiri. Perempuan dengan jenis kelaminnya perempuan tetapi sebenarnya dirinya menggunakan logika patriakhi.

Padahal secara sederhana, perempuan itu berbeda-beda. Ada perempuan yang ketika ia hamil dan melahirkan tetap bisa beraktivitas relatif mudah. Tetapi bukankah ada banyak perempuan juga sejak awal hamil hingga melahirkan juga mesti dalam pengawasan tenaga medis? Terlalu tinggi kalau kita bicara hamil dan melahirkan, mestruasi saja juga setiap perempuan memiliki pengalaman yang beragam. Ada perempuan saat menstrusi harus istirahat total tetapi ada juga perempuan ketika masa itu tiba, dirinya tidak mengalami kesulitan sedikit pun. Hal ini kemudian di banyak institusi terutama swasta yang sudah memberikan cuti menstruasi bagi pegawai perempuan, tidak lagi sebatas cuti melahirkan.

Oleh sebab itu, berhentilah berpikir bahwa ketika cuti melahirkan maka perempuan tersebut akan makan gaji buta. Jangan lagi berprasangka hingga mendakwa perempuan akan tidak produktif bekerja dalam birokrasi karena ia harus cuti saat melahirkan. Melahirkan itu bukan perkara sederhana, antara hidup dan mati yang ia hadapi.

Bagaimana Ke Depan?

Tulisan ini ingin memberikan pesan kepada semua pembaca khususnya bagi Pemerintah Kota Banda Aceh bahwa masalahnya sekarang bukan sekedar mencabut Surat Edaran lalu masalah selesai. Sebab, terbitnya Surat Edaran yang mencederai rasa keadilan itu harus menjadi momentum bagi Pemerintah Kota Banda Aceh untuk merefleksikan dirinya. Bukankah dalam RJMD Kota Banda Aceh Tahun 2017-2022 jelas tertulis bahwa visi Kota Banda Aceh yaitu “Terwujudnya Kota Banda Aceh Gemilang Dalam Bingkai Syariah”. Kata “Gemilang” adalah menjadikan Kota Banda Aceh yang termasyhur dan terpandang dalam tiga pilar utama yaitu agama, ekonomi, dan pendidikan, menuju kejayaan dengan memperhatikan keadilan gender. Ketika poin “keadilan gender” diakui dengan resmi maka dalam semua sektor pembangunan termasuk birokrasi haruslah memperhatikan aspek tersebut.

Dengan demikian, momentum ini seharusnya menjadi dorongan untuk melihat ulang sejauhmana penataan birokrasi di kota ini secara lebih luas, apakah benar-benar sudah mengakomodasikan kepentingan, permasalahan, kebutuhan, dan pengalaman yang berbeda antara PNS dan Pegawai Non PNS, baik laki-laki maupun perempuan? Dari sisi jumlah, perempuan memang lebih banyak dibandingkan laki-laki baik sebagai PNS maupun Pegawai Non PNS. Tetapi apakah perempuan terlibat dalam ruang pengambilan keputusan dengan posisi yang startegis? Merujuk pada Profil Gender Kota Banda Aceh tahun 2020, Per April 2020, dari 47 jabatan strategis maka proporsi perempuan hanya 10,63%. Kondisi ini dengan tingginya gender gap dalam birokrasi terutama pada level pengambil kebijakan harus dilakukan analisis mendalam terkait dengan “ketersediaan dan potensi perempuan” dalam birokrasi di Kota Banda Aceh saat ini. Hal demikian untuk menemukenali faktor penyebab dan rencana aksi apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh sehingga gender gap tersebut semakin menurun di masa mendatang.

Perlu ditegaskan di sini bahwa partisipasi perempuan dalam birokrasi bukan untuk menjadi kompetitor bagi laki-laki. Hanya saja, saat ini perempuan di birokrasi terutama perempuan dengan posisi “honorer” atau PPPK tersebut memerlukan dukungan dengan kebijakan-kebijakan khusus (afirmasi) yang adil gender, baik dari aspek pengembangan kapasitas hingga persoalan cuti melahirkan. Dalam kontek ini, maka Pemerintah Kota harus memperkuat kapasitas unit kerja yang menangani peraturan perundang-undangan dengan lensa yang sensitif gender. Hal ini sebagai garansi bahwa kebijakan ke depan, apa pun produknya, Pemerintah Kota Banda Aceh tidak mengulang hal serupa seperi Surat Edaran ini.

Pemerintah Kota Banda Aceh sudah saatnya pula mengkaji mekanisme penilaian kinerja ASN (yakni PNS dan Pegawai Non PNS) dengan memasukkan “achievement relative to opportunity” atau ARO ” yang menyertakan peran pengasuhan bagi anak-anak dan anggota keluarga yang sudah tua, atau peran sosial lain di luar tugasnya sebagai ASN, dalam mengevaluasi ASN - dapat menjadi pertimbangan baru bagi Pemerintah Kota Banda Aceh. Kebijakan evaluasi ini tidak hanya mengukur kinerja yang dihasilkan, yang menjadi penilaian dalam sistem evaluasi ASN, tetapi juga memperhitungkan peran ganda ASN di dalam rumah tangga, lingkup budaya, sosial, dan agama. Sepengetahuan penulis, hal ini memang belum terakomodasi dari UU ASN, tetapi bukankah kita bisa mendorongnya menjadi kebijakan afirmasi-inovatif sehingga rasa keadilan itu semakin nyata?

Jangan lupa bahwa perempuan birokrasi bukam sekedar membutuhkan cuti melahirkan! Tetapi ia juga membutuhkan dukungan budaya birokrasi yang mendukung perempuan dengan fasilitas yang memadai yang ramah dengan kepentingan perempuan. Dengan demikian, Pemerintah Kota perlu melakukan kajian akan kebutuhan fasilitas pendukungan bagi perempuan birokrasi seperti fasilitas pengasuhan anak (day care) bagi perempuan di tempat kerja atau tempat diklat, sehingga perempuan dapat membangun karir sekaligus tetap menjalankan peran pentingnya dalam pengasuhan anak selain mendorong laki-laki birokrasi untuk mendukung peran tersebut secara aktif baik di tataran domestik (rumah) maupun publik (kantor) tempatnya bekerja.

Pertanyaannya sekarang adalah coba cek berapa banyak OPD di lingkungan Pemerintah Kota Banda Aceh dan tempat-tempat umum (publik) yang staretgis, yang sudah menyediakan ruang dan sarana khusus untuk ibu hamil dan menyusui dengan baik? Jawabannya pasti masih terbatas, padahal ketentuannya sudah diatur di dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, Pasal 12 pada ayat (3) bahwa Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban menyediakan ruang dan sarana khusus untuk ibu hamil dan menyusui, baik di tempat kerja maupun di tempat-tempat umum. Di sini, peran progresif dari Dinas yang terkait dengan urusan pemberdayaan perempuan sangat diharapan. Jemput bola dan memastikan perempuan birokrasi dapat bekerja dan mengembangkan karirnya dengan baik, yang setara dengan laki-laki baik dari sisi kebijakan maupun infrastruktur pendukungnya.

Mengakhiri tulisan ini, kita semua tentu berharap juga DPRK Kota Banda Aceh sebagai mitra kerja Pemerintah Kota untuk memaksimalkan fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan yang dimilikinya untuk untuk mendukung penataan birokrasi yang memiliki basis gender yang baik. Mulai dari hal perkara cuti melahirkan, dan seterusnya. Kalau perlu sekali waktu buatlah pengawasan khusus untuk melihat kerja-kerja birokrasi, lakukan evaluasi apa yang menjadi tantangan bagi ASN (PNS dan PPPK) di kota ini, khususnya bagi perempuan dalam menjalankan tugasnya sehingga akan terdeteksi apa saja kendala yang dihadapi. Regulasi apa yang diperlukan hingga fasilitas apa yang masih dibutuhkan sehingga kinerja birokrasi menjadi lebih optimal, termasuk yang khusus (spesifik) bagi perempuan.

Sekali lagi, melalui tulisan ini diharapkan ada upaya kita bersama untuk memanusiakan manusia lainnya secara beradab, termasuk dalam birokrasi. Salah satunya dengan cara menjamin peran serta dan kontrol perempuan dalam birokrasi untuk berkiprah secara adil dan setara dengan laki-laki. Perempuan dan laki-laki, keduanya bukan untuk saling bersaing tetapi bersanding untuk meningkatkan kinerja birokrasi dan pelayanan publik agar semakin berkualitas di Kota Banda Aceh. Semoga. [*]

oleh: Abdullah Abdul Muthaleb

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda