Beranda / Berita / Nasional / Penunjukan TNI Aktif Sebagai Pj Kepala Daerah Dinilai Merusak Pembangunan Profesionalisme

Penunjukan TNI Aktif Sebagai Pj Kepala Daerah Dinilai Merusak Pembangunan Profesionalisme

Jum`at, 27 Mei 2022 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Alfi Nora

Analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto. [Foto: Ist.]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerintah sudah mulai menunjuk satu-per satu para penjabat atau Pj untuk mengisi para kepala daerah baik di tingkatan provinsi maupun kota dan kabupaten yang masa jabatannya sudah mulai usai, dan baru ada pemilihan lagi di Pilkada 2024.

Penunjukan Kepala Badan Inteligen Negera (BIN) Sulawesi Tengah, Brigjen TNI Andi Chandra As'aduddin sebagai penjabat (Pj) Bupati Seram Bagian Barat menuai pro dan kontra sebab dianggap melanggar ketentuan perundangan, salah satunya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut anggota TNI dan Polri aktif dilarang menjadi penjabat kepala daerah.

Menkopolhukam Mahfud MD dan Wakil Komisi II DPR, Junimart Girsang berkukuh bahwa merujuk ketentuan lain, yakni Undang-Undang tentang Pilkada, siapapun yang menjabat sebagai pimpinan tinggi pratama, termasuk anggota TNI, bisa ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah. 

Analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto menyoroti dua hal penting terkait pernyataan Menkopolhukam yang melegalkan TNI aktif jadi penjabat kepala daerah. 

Pertama, Arif tidak memahami pemikiran Mahfud MD yang seorang guru besar hukum tetapi pengetahuan hukumnya terdegradasi. Karena menurutnya, jelas-jelas hal itu menabrak UU TNI, UU ASN, UU Pilkada. 

Kedua, lanjutnya, Arif merasa Mahfud MD secara sengaja melupakan bahwa pembangunan demokrasi Indonesia masih rentan dan dipukul dari dalam oleh pemerintah, yang mestinya punya tugas untuk membangun penguatan demokrasi.  

Menurut Arif, penunjukan TNI aktif sebagai penjabat kapala daerah terdapat tiga masalah besar. 

“Satu, penunjukan TNI aktif jelas merusak pembangunan profesionalisme TNI-Polri,” sebutnya dalam diskusi publik yang digelar Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Jumat (27/5/2022). 

Dua, lanjutnya, secara terang-terangan menunjukkan tersebut suatu pengangkangan, apa yang diamanatkan oleh UU TNI dan putusan mahkamah konstitusi.  

Tiga, penunjukan TNI aktif sebagai PJ kepala daerah itu menjadi indikasi penting kemunduran demokrasi Indonesia kontemporer. 

Karena di era kepemimpinan Jokowi terjadi resentralisasi kekuasaan. Menurutnya, cukup banyak kewenangan yang awal mula dimiliki oleh daerah sekarang ditarik ke pusat. salah satunya lewat UU Cipta Kerja. 

“Ini adalah sebuah kabar buruk. Kenapa kemunduran demokrasi karena penunjukan itu melewatkan satu asas penting bersama prinsip kedaulatan rakyat yaitu prinsip transparansi dan akuntabilitas,” jelasnya. 

Ia menerangkan, dalam prinsip transparansi, prosedur penunjukan PJ tersebut tidak ditemukan adanya tes semacam fit and proper test yang dilakukan secara terbuka atau melibatkan institusi yang punya kepentingan langsung pengelolaan pemerintahan di daerah. Itu tidak dijalani. 

Untuk itu, kata dia, sebaiknya pemerintah perlu berkaca tidak hanya pada pengalaman masa lalu ketika rezim terdahulu melakukan politisasi terhadap TNI Polri dan institusi yang mestinya bergerak pada level politik kenegaraan.

Lanjutnya, pemerintah juga perlu belajar untuk lebih memahami bahwa UU tidak bisa diletakkan di bawah upaya pencapaian stabilisasi kekuasaan. 

“Kalau dua hal itu bisa dipahami dengan baik, saya kira kita tidak harus berdebat apakah TNI itu boleh jadi PJ kepala daerah atau tidak karena UU sudah terang mengatur itu dan juga prinsip dasar dalam demokrasi itu jelas adalah supremasi sipil,” pungkasnya. [NOR]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda