Beranda / Berita / Pojok Iqbal / Di Ujung Tanduk Banteng

Di Ujung Tanduk Banteng

Minggu, 12 September 2021 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Suerte de Varas, 1824, by Francisco de Goya


Saat senja mulai turun, di jalanan kawasan Wall Street Manhattan, seorang puteri kecil menghentikan langkah. Sang ayah yang berjalan seraya menggandeng tangannya ikut berhenti. Puteri kecil itu takjub dengan sosok banteng besar di hadapannya. Ia bertanya kenapa patung hewan tangguh ada disitu. 

Lantas sang ayah menceritakan dengan sedikit bangga, banteng itu tanda keberuntungan dalam dunia pasar modal. Ikon "Bull" (banteng dalam bahasa Inggris) sebagai penyebutan "bullish" yang berarti tren penguatan harga saham dalam pasar modal. Semua orang berharap kenaikan, oleh karena itu mereka mendoakan harga bisa ikut serupa bentuk tanduk banteng, mengarah naik ke atas dan menanduk langit. Cerah, penuh laba. 

Dua kalimat di atas cocok bagi efek dramatisasi pengantar tulisan. Untuk penyambung kalimat ada pandemi lain yang menjalari kehidupan generasi muda dalam beberapa waktu terakhir. Demam 'stock market' pasar saham jadi aktivitas kesibukan baru bagi kalangan umur yang sebelumnya dianggap belum gemar menabung. 

Alih-alih membuat tabungan konvensional di bank, banyak anak muda kini dengan setumpuk argumen bakal memilih menginvestasikan uangnya dalam lembaran saham. Dalam pertemuan sesama kalangan trader, sebagian mereka memakai kaos dengan gambar banteng. Mungkin sebagai azimat keberuntungan, supaya saham blue chip yang baru dibeli bisa meraih hoki. 

Ada dua film bagus yang menceritakan semangat juang pemula saat awal-awal bertarung mencoba peruntungan di dunia pasar saham. Pertama, sinema hollywood garapan sutradara Oliver Stone, "Wall Street: Money Never Sleeps" (2010), dengan Kedua, film bollywood yang disutradarai oleh Gauravv K. Chawla berjudul "Baazaar" (2018). 

Film ini memiliki plot hampir sama, menampilkan pemeran utama anak muda penuh optimisme mewujudkan profesi impian mereka, menjadi pialang saham sukses. Kedua karakter itu punya prinsip idealisme dan memaknai dinamika pasar saham dengan 'text book', jalan seharusnya, menjadi banteng sejati. 

Semua pihak akan senang dengan banteng. Ada investor yang happy, ada emiten yang juga happy. Perusahaan sehat, ribuan atau belasan ribu pekerja dalam naungan ikut merasakan dampak positif. Secara teoritis, ini kondisi ideal. Seperti sang Ayah di awal cerita, memilih hanya menceritakan kisah banteng, menutup peluang hadirnya kisah si beruang, yang padahal menjadi pelengkap sisi lain mata koin. 

Beruang dalam dunia pasar modal dikenal dengan sebutan "bearish" merujuk pada tren negatif kurva statistik harga dalam bursa saham. Konon perumpamaan beruang sesuai bentuk cakarnya yang mengarah kebawah. Serta mengambarkan kebiasaan hibernasi beruang di musim dingin sebagai analogi kondisi ketidakpastian. 

Anak-anak muda dan para pemula boleh mengandalkan tanduk banteng, orang-orang tua dedengkot penguasa sudut kegelapan bursa efek lebih suka cakar beruang. Indeks pasar saham menuju ke bawah mengikuti bentuk cakar beruang, sangat disukai oleh para pemain lama. Memperoleh laba besar saat harga perusahaan turun, sedang tercabik-cabik oleh alasan yang bahkan tidak masuk akal seperti rumor palsu atau jebakan skandal aneh, yang dikondisikan oleh pihak tertentu secara sengaja. 

Para beruang juga yang biasanya menggarap manuver dan settingan taktis penghancuran nilai sebuah perusahaan yang telah ditetapkan sebagai target. Ada beberapa pola yang lazim dimainkan. Intinya, badai tidak selamanya memberi warna kelam pada kehidupan. Setidaknya, membawa berkah kepada beberapa kelompok orang. 

Gerak kekuasaan layaknya pasar modal. Modus operasi dan motifnya sering sama. Lingkaran kekuasaan yang menawarkan keuntungan serta laba, juga dihuni oleh orang-orang dengan karakter seperti banteng atau beruang. Berebut pengaruh atas jalannya kekuasaan, silih berganti siapa yang menjadi pemenang. Banteng atau beruang di politik bisa berupa personal individu, kelompok elit, partai politik atau kelompok kepentingan lain. 

Toh, kekuasaan lekat dengan kepentingan. Memang benar, namun karakater banteng lebih disenangi oleh banyak penguasa. Para "banteng" akan meraup laba saat pihak lain juga untung. Win-win solution. 

Salah satu perumpamaan, jika seorang Menteri bersikap bagaikan banteng, maka ia akan membuat kebijakan positif yang menguntungkan banyak pihak. Misal kebijakan pemberdayaan petani padi skala nasional, upaya swasembada beras agar jadi komoditas ekspor. Kebijakan diatur sedemikian rupa, hingga para petani terangkat ekonominya; produsen alat pertanian lokal bisa berdaya guna; produsen pupuk BUMN lancar; menyerap banyak pekerja sektor lain sebagai pendukung; meningkatkan pendapatan asli daerah; menarik modal luar karena minat investor tinggi; harga beras bisa stabil menguntungkan petani dan konsumen; serta keuntungan lainnya. 

Tapi ketika sifat beruang merasuki sang Menteri, tak perlu repot-repot menyusun program kerja yang ngejelimet, susah dan berdarah-darah hingga tahap ketok palu persetujuan program. Menteri Beruang tinggal menunggu gagal panen petani; lalu membuka lelang quota impor beras. Tinggal memilih siapa pemberi fee paling tinggi, menjadi pemenang impor. Malah kadang, walaupun petani berhasil panen raya, tidak bisa serta-merta menghalangi kebijakan impor. 

Selalu ada solusi agar Menteri Ber-uang, disaat yang sama mencabik-cabik banyak pihak terutama kaum petani dan ketahanan pangan nasional.Itu baru satu contoh kasus. Ada banyak potensi skenario yang bisa digunakan demi cuan bagi para beruang. 

Paling berbahayanya lagi, dalam pengelolaan kepemimpinan, oknum dalam lingkaran kekuasaan menerapkan ilmu beruang agar hajat kepentingannya tercapai. 

Operasi dijalankan agar negara selalu rugi dan kacau dalam banyak aspek. Setiap kerugian dan kekacauan yang negara alami, akan ada keuntungan yang mengalir ke kantong. Mereka menunggu dalam diam, agar negara selalu gelap, lalu dipanggil menghadap kekuasaan. Diserahi tugas menyelesaikan persoalan. Mereka senang, karena telah mengantongi kunci jawaban, telah dipersiapkan sebelum ujian datang. Mengambil rente dalam setiap kesempatan. Lalu diakhir cerita menjadi pahlawan. Setelah badai datang selalu ada cuan, dasar para beruang. 

Oleh karena itu, jangan terlalu alergi dengan kata "banteng." Siapa sangka, dalam beberapa hal, ketimbang "beruang" kita lebih iklas memilih banteng!

~Iqbal Ahmady M Daud, Pengajar di Ilmu Politik FISIP Universitas Syiah Kuala

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda