Beranda / Berita / Pojok Iqbal / Elegi Pujian

Elegi Pujian

Kamis, 02 September 2021 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Gambar: "El tres de mayo de 1808 en Madrid" atau "Los fusilamientos de la montaña del Príncipe Pío" oleh Francisco Goya (1814)


Kadangkala, ada benarnya petuah masa lampau, "pujian sering kali menghanyutkan seseorang hingga tenggelam ke dasar." Nasihat ini berlaku, setidaknya beberapa teks sejarahmenceritakan tentang kisah seteguk pujian yang lebih berbahaya daripada segelas racun. 

Setidaknya ada dua kisah populer tentang bagaimana pujian di masa lalu tidak bisa menyelamatkan masa depan. Pertama, dari Presiden perdana Singapura; dan kedua, dari Presiden perdana Indonesia. Kedua tokoh ini di sebuah masa pernah memuji setinggi langit seseorang, tapi berakhir mengerikan. 

Lim Chin Siong adalah rising star politik terbaru di Singapura setelah terpilih sebagai anggota parlemen termuda sepanjang sejarah pada tahun 1955. Ia baru berumur 22 tahun pada pelantikannya. Melanie Chew dalam bukunya 'Leaders of Singapore', Lee Kuan Yew bahkan sesumbar kepada pemimpin Singapura (Ketua Menteri) saat itu David Marshall, jika Lim adalah "Perdana Menteri masa depan Singapura." Lee memujinya dengan segenap rasa di dada. 

Awal persahabatan keduanya dimulai saat Lim sebagai aktivis muda yang menjadi tokoh sentral Serikat Pekerja, punya anggota militan 30 ribu orang. Nilai tawar dari pengaruh tersebut membuat Lee kepincut mengajak Lim bekerjasama membentuk People's Action Party (Partai Aksi Rakyat/ PAP) pada tahun 1954. Bersama tokoh politik sentral seperti S. Rajaratnam, Toh Chin Chye dan Devan Nair, partai didirikan dengan mengusung pikiran radikal, meneriakkan slogan merdeka. 

Lee sama seperti sebagian besar rakyat Singapura, terkesima dengan orasi tajam Lim yang digambarkan mampu menciptakan iklim psikologis bagi massa yang mendengar sehingga menggerakkan tindakan yang seakan-akan keluar atas keinginan massa itu sendiri. 

Pertentangan antara dua sahabat ini benar-benar terlihat saat berbeda pandangan mengenai penggabungan antara Singapura dan Malaysia. Lee terang-terangan sepakat menginginkan Singapura bergabung dalam federasi negeri Malaya. Lim menunjukkan sikap keberatan, dan punya pendapat berbeda tentang arah Singapura kedepan. 

Tahun 1961, Lim dan sebagian anggota PAP yang dipecat karena perbedaan pendapat internal partai, mendirikan partai baru, Barisan Sosialis. Lim menjadi Sekretaris Jenderal. Ia semakin gencar mempropagandakan ke publik sikap pertentangannya terhadap kebijakan integrasi negara. Lee tahu betul akan keahlian Lim mengelola massa, maka langkah paling logis dengan menahan Lim. 

Alasan Lee menangkap Lim dan dan beberapa elit Barisan Sosial serta para tokoh lain bukan hanya sekedar kepentingan referendum integrasi Singapura ke Malaysia tahun September 1962, juga kepentingan menjaga kekuasaaannya kedepan. Manuver besar itu terkenal dengan Operation Coldstore, yang dilaksanakan pada tahun Februari 1963. Penangkapan Lim menjadi kado bagi terbentuknya Federasi Malaysia. 

Apa yang sedang terjadi? Lee Kuan Yew, sang ahli strategi politik paling besar di Asia Tenggara, punya siasat khusus tentang integrasi. Lee Kuan Yew berpikir bergabung dengan Malaya demi bantuan (dana dan tenaga) dari Malaya diperlukan untuk merusak faksi sayap kiri yang diwakili oleh Barisan Sosialis menjadi penantang terkuat PAP dan Lee. Terlebih saat mereka kalah dalam dua pemilihan sela pada tahun 1961. Lee bersikeras bahwa komunisme dapat hanya diberantas melalui integrasi. 

Terbukti, pada tahun 1965 setelah kampanye yang melelahkan tentang pemisahan Singapura dari Federasi Malaysia, Lee mencapai tujuannya mendirikan negara Singapura yang berdaulat penuh. Ambisi Lee memajukan negaranya berhasil dicapai beberapa dekade kemudian, Singapura menjadi macan di regional yang juga diperhitungkan di kancah internasional. 

Apakah Lim benar bersalah?  Lim tidak pernah mengakuinya. Tulisan Kumar Ramakrishna, "Lim Chin Siong and that Beauty World Speech: A Closer Look" (Institute of Policy Studies, 04 Juni 2014) menjelaskan Lim hanya korban lebih lanjut dari bagian besar perang geopolitik "Perang Dingin." Dimana kekuatan kapitalis Barat melawan blok Komunis yang terpusat secara politik dan ekonomi yang dipimpin oleh Uni Soviet dan Cina. Ketika Lim berada di puncak politiknya pada 1950-an, koloni Inggris di Singapura dan Malaya terlibat dalam konfrontasi dengan Partai Komunis Malaya (CPM). 

S. Rajaratnam, membenarkan operasi tersebut dengan menyatakan bahwa "tindakan diambil bukan karena mereka Komunis tetapi karena bahaya subversi dan kekerasan oleh komunis dalam membantu intervensi asing ini (Wade, Goeffe Wade, 2013, "Operation Coldstore: A Key Event in the Creation of Modern Singapore") 

Ada pepatah, sebuah tuduhan akan terjawab dengan sebuah jawaban paling efektif, biarkan waktu yang membuktikan. Laporan akademis paling berani menjawab tuduhan ini dari Dr. Thum Ping Tjin. Dalam tulisannya yang bertajuk "Lim Chin Siong Was Wrongfully Detained" (theonlinecitizen.com / 8 Mei 2014), ia mengemukan pemerintah saat itu dengan sengaja mengartikan secara salah pidato Lim Chin Siong, yang menjadi alasan Lim melakukan penghasutan mengajak rakyat melakukan makar terhadap aparat, tafsiran selanjutnya kepada pemerintah.  

Fakta yang diungkapkan belakangan jelas menunjukkan bahwa Lim dijebak. Penelitian akademis terbaru juga telah membuktikan bahwa penangkapan dan penahanan Lim kemudian pada tahun 1963 bermotif politik. Pemerintah Singapura tidak pernah memiliki bukti bahwa Lim adalah bagian dari konspirasi komunis.  

Akhir cerita Lim, setelah dipenjara dua kali (1956-1959 dan 1963-1969) akhirnya ia menyerah. Mengalah, berhenti menjadi revolusioner. Kesehatannya yang terus memburuk membuatnya mengajukan permohonan pengampunan. Lee punya satu syarat, Lim harus selamanya enyah dari dunia politik. Setelah menyetujui syarat, Lim dibebaskan. Lalu sempat merantau ke Inggris. Bekerja serabutan, kadang menjual buah-buahan segar di pasar. Kemudian pulang kampung dalam kondisi sakit-sakitan, dan meninggal dalam kesunyian di tahun 1996. 

Lanjut ke cerita romansa 'Ploklamator Indonesia' Soekarno, dengan 'Bapak Republik Indonesia' Tan Malaka yang lebih dramatis dari drama Korea. Ada pola hubungan yang rumit dan unik nan sulit dijelaskan melingkupi hubungan yang tak biasa antara mereka berdua. 

Soekarno adalah penggemar rahasia Tan Malaka. Harry A Poeze dalam buku "Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia," menjelaskan momen perjumpaan pertama mereka terjadi di Jakarta pada September 1945, sesaat setelah kemerdekaan Republik. Ketika itu, Bung memuji setinggi langit jika ia sangat banyak terinspirasi dari tulisan Tan Malaka. Pertemuan itu juga disebut bahwa Soekarno lebih sering terpana mendengar kata-kata yang dikeluarkan oleh Tan Malaka. 

Tidak sekedar kekaguman semata, bentuk ekspresi penghormatan Soekarno terlihat dengan menunjuk Tan Malaka sebagai penggantinya, menjadi pemimpin Indonesia. "Kalau saya tiada berdaya lagi, maka kelak pimpinan revolusi akan saya serahkan kepada saudara" tegas Bung Karno kepada Tan Malaka. 

Janji bukan sekedar pemanis bibir saja, keinginan besar itu diperkuat dengan menuliskan janji di atas kertas, yakni testamen politik. Adanya hitam diatas putih menjadi bukti bahwa terjalin komitmen yang tidak main-main, untuk penobatan Tan Malaka sebagai "Putera Mahkota. 

Awal Oktober 1945, dibuatlah testamen politik yang berisikan penyerahan kekuasaan jika terjadi sesuatu hal buruk terhadap kedua pemimpin republik. Kekuasaan akan menjadi milik Tan Malaka, dan ada tiga tokoh lainnya termasuk Sutan Sjahrir. Dokumen itu diketik oleh Achmad Soebardjo serta ditandatangani langsung oleh Soekarno dan Hatta. 

Berjalanlah waktu setelah itu, pemimpin Indonesia tidak dalam posisi yang genting, sehingga transfer kekuasaan tidak pernah terjadi. Tan Malaka punya beberapa aktivitas politik. Seperti mencetuskan upaya penculikan Perdana Menteri, Sutan Sjahrir pada Juni 1946. Presiden Soekarno sangat marah atas kejadian ini, memerintah penangkapan untuk siapapun yang terlibat. 

Alasan penculikan Sjahrir ialah kegagalan diplomasi dengan pemerintah Belanda sangat merugikan Indonesia yang ingin memerdekakan seluruh wilayah, bukan hanya Jawa dan Madura seperti inisiasi pemerintahan Kabinet Sjahrir. Tan Malaka mencetuskan kelompok perlawanan yang menginginkan pengakuan kedaulatan penuh (Merdeka 100%). 

Tan Malaka yang tidak puas dengan kebijakan pengelolaan pemerintahan, merintis pembentukan Partai Murba pada November 1948. Singkat cerita, dalam versi sejarah yang masih jadi diskusi hangat para pakar, Tan Malaka dan kelompok gerilyawan yang dibentuknya ditangkap pada Februari 1949. 

Ia dieksekusi mati ditempat, tanpa peradilan, tanpa penghormatan apapun. Orang-orang melupakan siapa dia dan perannya kepada negara. Orang-orang juga lupa, akan statusnya sebagai "Putera Mahkota," nama yang tertulis akan menjadi penganti pimpinan Republik, yang ditulis di atas testamen politik resmi. 

Bagaimana nasib testamen politik yang pernah dibuat? Semudah menghancurkan kertas lainnya, testamen tersebut dirobek-robek dan dibakar oleh Bung Karno disaksikan oleh Aidit, SK Trimurti, dan Syamsu Harya Udaya, tokoh Partai Murba yang menyimpan surat penting itu, dilakukan pada hari yang muram di tahun 1964. 

Nah, apa pembelajaran yang bisa disimpulkan dari pembahasan? Pujian bukan jaminan untuk tidak (di)tenggelam(kan). Pujian seringkali menghanyutkan seseorang hingga tenggelam ke dasar. Makanya, jangan cepat terbang nanti tumbang, kawan!

Iqbal Ahmady M Daud, Pengajar Ilmu Politik di FISIP Universitas Syiah Kuala.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda