Beranda / Berita / Aceh / SP Aceh Gelar Debat Perempuan Pemimpin

SP Aceh Gelar Debat Perempuan Pemimpin

Kamis, 14 Maret 2019 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Kegiatan debat perempuan pemimpin. (Foto: SP Aceh)

DIALEKSIS.COM | Aceh Besar - Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia yang jatuh setiap tanggal 8 Maret, Solidaritas Perempuan (SP) Bungoeng Jeumpa Aceh menyelenggarakan serangkaian kegiatan.

Puluhan warga bersama aparatur dari 5 gampong se-Kecamatan Lhoknga dan Leupung, Aceh Besar ikut berpartisipasi dalam kegiatan Debat Perempuan Pemimpin dan Debat Aparatur Gampong yang diselenggarakan di ruang UDKP Kantor Camat Lhoknga, 10-11 Maret 2019.

Debat Perempuan Pemimpin dilaksanakan Minggu (10/3/2019) bertemakan "Merebut ruang politik perempuan di akar rumput" menghadirkan 3 peserta perempuan dari 5 gampong, yakni gampong Naga Umbang, gampong Lambaro Seubun, gampong Meunasah Lambaro, gampong Meunasah Moncut dari kecamatan Lhoknga, serta gampong Deah Mamplam dari kecamatan Leupung, Aceh Besar.

"Saya mendukung kegiatan ini untuk meningkatkan kapasitas perempuan dan pentingnya keterlibatan perempuan dalam struktur tuha peut gampong," ucap Camat Lhoknga, Drs. Syarbini MM saat memberikan sambutannya.

Ia menambahkan, di Aceh Besar sudah ada geuchik perempuan di Seulimum dan Darussalam karena dalam Undang-undang telah mengatur hal tersebut. Namun terkadang sulit bagi perempuan ikut terlibat dalam urusan gampong karena rapat-rapat dilakukan di malam hari.

Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Aceh, Elvida mengatakan, "Kegiatan ini merupakan bagian kerja-kerja pendampingan yang telah dilakukan di 6 wilayah. Kesempatan ini juga merupakan wadah silaturrahmi untuk berbagi pengalaman serta pengetahuan mengenai hal-hal yang sudah dilakukan dalam upaya pemberdayaan dan perlindungan perempuan".

Adapun dewan juri yang terlibat dalam debat tersebut, yaitu Suraiya Kamaruzzaman (Majelis Balai Syura Inong Aceh), Taufik Riswan (Pemuda Muhammadiyah), Zulfikar Arma (Sekretaris pelaksana JKMA), Fatimah Syam (Dosen Fakutas Usuluddin UIN Ar-Raniry).

Beberapa persoalan yang diangkat, yaitu terkait mekanisme penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di tingkat gampong, keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan di gampong, dan kepimpinan perempuan.

Dalam penanganan kasus kekerasan misalnya. Hampir seluruh peserta bersepakat bahwa setiap korban pelecehan seksual seharusnya tidak boleh diusir dari gampong. Pemerintah gampong harusnya memprioritaskan penyusunan qanun gampong yang isinya memuat mekanisme penanganan dan perlindungan terhadap korban kekerasan. Selain itu, aturan qanun itu nanti juga akan berfungsi untuk membentengi masyarakat dari tindakan main hakim sendiri, yang berujung pada perbuatan kriminal lain. Selain itu, peserta juga mendorong perlunya rumah aman bagi korban kekerasan yang disediakan oleh pihak gampong. Konsep rumah aman yang dimaksud adalah tempat perlindungan sementara bagi korban, sampai masalah kekerasan itu diselesaikan oleh aparatur gampong.

Mengenai keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan di tingkat gampong. Beberapa peserta perempuan dalam debat tersebut mengaku mereka jarang dilibatkan dalam rapat-rapat gampong, dengan serangkaian pertimbangan, salah satunya rapat yang kerap diadakan di malam hari. Situasi demikian membuat perempuan sulit berpartisipasi dalam membahas persoalan gampong. Jika pun mereka terlibat dalam rapat, tapi pendapat mereka tidak didengar. Maka dari itu, para peserta debat itu berpendapat, perempuan wajib dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan. Selain itu, setiap usulan yang diajukan perlu diakomodir oleh pemimpin gampong. Perlu ada rapat-rapat khusus yang membahas usulan-usulan perempuan, dimana hasilnya dibawa ke rapat umum gampong. Usulan itu diharapkan tetap diakomodir hingga ke tahap Musrenbangdes.

Terkait kepemimpinan perempuan, dewan juri mengajukan beberapa kasus untuk dijawab peserta. Antara lain, pendapat mereka mengenai peluang bagi warga perempuan untuk menjadi Tuha Peut gampong.

Dalam hal ini, peserta berpendapat bahwa setiap warga perempuan, apapun asal sukunya, jika ia telah menjadi penduduk tetap di suatu gampong, maka ia berhak diberi peluang menduduki jabatan tersebut. Apalagi, dalam Qanun kabupaten Aceh Besar nomor 11 tahun 2009 tentang Pemerintahan Gampong, ditegaskan pada pasal 42 ayat (2) struktur Tuha Peut 30 persennya berasal dari kaum perempuan. Siapapun yang berkompeten, ia berhak dipilih menjadi Tuha Peut. (rel)


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda