- Sikapi Dinamika Pemilu 2024, Ratusan Pakar Hukum Gelar Konferensi Nasional
- Pembangunan Venue PON XXI di Aceh Dibatalkan, Kepala Biro PBJ Aceh: Itu Kewenangan Pemerintah Pusat
- BI Nilai Aceh Perlu Hilirisasi Pertanian dan Pariwisata
- Spanduk Peserta Pemilu 2024 Sudah Berkeliaran, Komisioner Panwaslih Aceh: Penertiban Pakai Peraturan Daerah
Traumatis pada Korban Konflik Aceh Masa Lalu Penting untuk Dipulihkan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Auliana Rizky

[Foto: Tangkapan Layar/Serambi On TV]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Feri Malik Kusuma mengatakan, traumatis korban konflik pada masa lalu penting untuk dipulihkan.
Tanggapan tersebut dikutip Dialeksis.com melalui kanal Youtube Serambi On TV terkait "Menyembuhkan Luka Korban Konflik" pada Selasa (16/8/2022).
Ia menyampaikan, hadirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) adalah untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa konflik. Pelanggaran HAM pada masa konflik banyak dan rentan waktunya panjang dari tahun 1996-2005.
Lanjutnya, KKR yang ada di Aceh ini unik dan berbeda dengan KKR yang ada di belahan dunia lainnya. Pada umumnya sifat KKR itu sementara, ia berfungsi hanya untuk mengungkap suatu kebenaran peristiwa, basisnya itu hanya keterangan para korban saja.
Jika berbicara dari segi perspektif HAM tentu ada banyak sekali dimensi HAM yang dilanggar pada konflik yang terjadi di Aceh. HAM itu bisa dari segi politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Ini menjadi kewenangan KKR untuk mengungkapan fakta dari perisitiwa pelanggaran HAM tersebut.
Di luar daripada kinerja KKR ini, banyak sekali tanggung jawab moral bersama baik pemerintah maupun masyarakat sipil untuk membangun bagaimana ketahanan para korban.
"Karena traumatis pada masa lalu jika tidak dipulihkan akan menjadi benih-benih yang tidak sehat dalam membangun Aceh yang lebih baik ke depan," ucapnya.
Menurutnya, satu aspek terpenting dalam penanganan peristiwa pelanggaran HAM itu adalah memastikan jaminan ketidakperulangan peristiwa serupa di kemudian hari.
Tambahnya juga, kita tidak ingin generasi selanjutnya mengalami hal serupa, seperti yang dialami masa konflik sebelum 2005 tersebut.
"Sayangnya kita, 17 tahun sudah perdamaian Aceh, masih terjebak dalam euforia seremonial dalam memperingati perdamaian," jelasnya lagi.
Artinya, Aceh tidak mengambil momen esensi dari perdamaian itu sendiri. Esensi yang utama adalah membuka tabir masa lalu secara terang. Ini bukan soal benar apa salah, bukan juga soal membuka aib di masa lalu.
"Kita ngak mungkin bisa membangun masa depan yang lebih baik kalau meninggalkan masa lalu dalam kegelapan," tegasnya.
"Jangan dikira perdamaian ini dirayakan dengan hura-hura namun bagaimana merawat perdamaian Aceh ini sampai kapan pun," pungkasnya. [Au]